Rabu, 12 Maret 2008

MASIH BERSAMA MUSIM KUMPULAN SAJAK IBNU WAHYUDI

Masih Bersama Musim kumpulan sajak Ibnu Wahyudi (2005): Sebuah Catatan!

Mengutip catatan di kulit buku belakang bahwa orang yang sebagian besar hidupnya tinggal di daerah tropis seperti di Indonesia, cenderung tidak terlalu peduli dengan perubahan musim. Itulah sebabnya dengan bahasa yang santun Wahyudi menuliskan pengalaman puitisnya karena bersentuhan dengan empat musim ketika bermukim seberapa waktu (seperti catatannya: begitu seseorang yang berasal dari atau yang akrab dengan dua musim itu tinggal atau menetap untuk waktu yang cukup lama di sebuah tempat yang mengenal musim sebanyak empat).Berhadapan dengan empat musim itu penyair lebih banyak menyapa musim yang paling beda dengan dua musim yang diakrabi, maka jangan heran jika kata salju (yang ada dalam bacaan doa iftitah “memohon dibasuh dosanya dengan tsalj – salju”) merupakan suasana musim yang paling menghenyak (dalam catatannya: semacam kesadaran yang seperti inilah sebagian besar sajak dalam kumpulan ini dibangun: masih dibelenggu musim / kita pun menghindar untuk tak lagi menyerapah / tentang basah atau sengatan cuaca / karena kita memang tak layak mencercanya). Dengan bahasa yang santun dan rapi sesuai kaidah bahasa Indonesia (selayaknya Wahyudi setia pada uger-uger bahasa Indonesia karena latar belakang pendidikan Susastra Indonesia!).
Sajak-sajaknya mengalir memahami musim, walaupun ada beberapa sajaknya yang menyempal dari tema musim, terutama yang berbicara pada pengalaman batin personal dan catatan perjalanan sepanjang menguntit jejak langkah empat maupun dua musim. Minimal kita terkejut dan ngungun mendapati aku lirik yang tertegun dalam sajak: aneh, bunga magnolia ini
berkuntum dulu, baru berdaun
Pengalaman batin ini hanya muncul ketika mengalami musim semi setelah membeku dalam musim dingin yang suram. Hanya di empat musim peristiwa puitis ini akan hinggap di mata batin penyair yang membayangkan referensi di dua musim.
Dari beberapa sajak yang setia pada kaidah tata bahasa ada juga beberapa yang tidak, atau mencoba menerapkan hak penyair yang paling diagungkan licentia puitika. Diantaranya kata ketiba-tibaan (halaman 7), menggerimis, melayu (halaman 8), merindu (judul sajak halaman 9), dan semerepotkan (halaman 16).

Penyusunan sajak
Disamping keberanian penyair memaksa kata sifat menjadi kata kerja, ada lagi yang lebih membuat labirin pemahaman perjalanan penyair ketika mengelompokkan sajak dalam tiga bagian. Pembagian ini tidak ditemukan adanya kesamaan tema, atau kronologis penciptaan sajak bersandar pada titi mangsa yang senatiasa ada di akhir sajak lengkap dengan lokasi atau kota kelahiran sajak. Kalau dikatakan sajak ini semacam gado-gado juga tidak, karena keterikatan jenis “sayur” yang sejenis berbicara tentang musim atau dalam arti sempit cuaca.
Dari penyusunan sajak yang beraneka tanpa pola ini akan lebih nyaman kalau sajak yang berbicara tentang salju misalnya diikat dalam satu sub-title Salju, kemudian yang berbicara tentang sketsa perjalanan dan yang mengambil roh haiku. Tetap dibagi tiga bagian dengan tema yang lebih mencolok. Paling tidak pakai catatan titi mangsa sebagai alasan pengikatan menjadi kelompok.
Ada yang menarik dari sajak yang bertema salju dengan titi mangsa berbeda. Tampak kesan setia tanpa perubahan dunia batin penyair dalam menyiasati bayangan batin tentang pemahaman dan pemaknaan peristiwa salju. Simak sajak-sajak berikut:

Salju Pertama
salju pertama tiba dari cakrawala
adakah membawa warta gembira?

ia menjelma dari duka, agaknya

telah lama kita pun cuma berjaga-jaga
berada di antara daun-daun yang pergi
dibawa angin, jatuh sendiri-sendiri

salju pertama hari itu jadi juga bertamu
dengan cahaya dan harapan bertemu

lalu, di manakah kamu?
jangan-jangan masih dalam termangu

atau tengah mengendarai bianglala itu?
Dongdaemun, 1977

MERINDU SALJU
salju pertama pagi-pagi itu,
sungguh-sungguh menyapaku
di muka pintu

aku tentu menyapanya juga
lalu bercengkerema dengannya

sesekali kami berfoto bersama
sembari menumpah rindu

sekian lama yang ada hanya jemu
menunggu dan membuatmu kelu

salju yang tadi bertamu itu
telah tersaji lama dalam kanvasku
tercatat rapi dalam buku harianku

sesekali saja menjelma rindu

: tapi kenapa dirimu buru-buru berlalu
selagi aku masih mau mencadaimu?
Seoul, 1988
RINDU SALJU
rindu yang menunggu
takkan berlalu sebelum bertemu denganmu
: barangkali pada setiap musimmu
akan selalu ada mimpi tentang kelembutanmu

rinduku padamu pun
sesendu salju seperti dalam ceritamu
yang kau bagi melalui alunan pantun
tentang dingin yang sering membuat beku

maka aku ruapkan langenku itu
dengan membelaimu
malu-malu
Imun-dong, April 1998

SALJU ITU
salju itu cuma melayang pelan
tidak seperti hujan ia ringan
dan menyenangkan

juga tidak setajam hujan

kita pun masih meneruskan percakapan
kita biarkan juga ia mewarnai rambut dan pakaian
kita tetap tenang, kadang malahan menating tangan

ia memang tak semerepotkan hujan

segera saja kami menjadi kawan
tapi jangan-jangan aku cuma dibuatnya mainan
Imun-dong, 1998


KUBIARKAN SAJU
kubiarkan salju
dingin pun tak lagi sampai
Seoul 1998

MEMBURU SAJU
memburu salju
aku malahan menemukan rindu

matahari mencari pelangi
aku kehilangan pagi
Taenung, 1998
MUKAKU MEMBEKU
mukaku membeku, kelu
angin dan salju menyiletiku
sembilu dan meliau

aku mimpikan rembulan
yang ketika malam
suka mengundangku
berjalan-jalan di pelimban
Seoul, 1998

DESAH SALJU
ketika salju mengisyaratkan dirinya
segera kusiapkan telinga
untuk mendengarkan desahnya
juga gairahnya
Seoul, 1998

RINDU
dari mana ketiba-tibaan itu
yang selalu mengirim tanda-tanda
tanpa melalui perubahan cuaca

dibaginya cahaya tak bernama
atau debu yang selalu setia
mengabarkan rindu

bukan itu,
bukan suara yang menjelma batu
atau masa lalu yang tercabik waktu

tapi salju
yang lalu menjadi lamu

k a m u
Taenung, 1999


YANG MEMBEKU
yang membeku di jalan itu
bias jadi yang semalam memburu-buru
terlepas dari sela-sela nafasku
menggelegar di antara salju
Seoul, 1999


AKU TANGKAP SALJU
aku tangkap salju
ia menjadi rindu
mencair di sela-sela buku jari
mencari-cari pelangi

aku singkap bajumu
dan kau pun tersipu
dalam dingin yang membeku

aku tentu terkesiap lugu
selaksa magma di balik gaunmu
menunggu waktu yang selalu keliru
dengan engah yang mengharu biru
Imun-dong, 1999

Selain sajak yang terma sama: s a l j u, ada juga sajak yang cengengesan dan memudarkan imaji kesantunan dan kerapian Wahyudi dalam menyiasati imaji. Bandingkan sajak berikut dengan tema musim dan salju yang arif dan sungguh-sungguh kental dengan pesan dan kesan yang membumi.

MUSIM DINGIN
baju
berlapis-lapis

selalu
mau pipis

tak ada habis-habisnya
Insa-dong, 1999

SEBUAH KATA
sebuah kata
mengadu
kepada kamusnya

:
aku baru saja
(“dan sudah sekian lama,”
bisiknya)

diperkosa
Depok, 2002

Tetapi kecentilan dan kekenesan itu akan terbayar dengan sajak yang betul-betul cerdas dalam mengkaitkan referensi bacaan dan pengalaman batin penyair yang terungkap pada sajak:

MALAM CHUSOK
bulan penuh
telanjang

dan uh,
aku teringat
Sitor Situmorang
Taenung, 1998

Sajak ini yang memberi nyawa pada bagian ke dua kumpulan sajak Masih Bersama Musim dengan pertemuan haiku pada sajak Bertemu Haiku (halaman 29). Kelincahan imaji Wahyudi terbukti pada sajak-sajak pendek asalkan tidak tergelincir pada daya ungkap puisi mbeling ketika Majalah Musik Aktuil masih ada dengan komandan 23761.
Sebagai catatan akhir perlu mencatat Ibnu Wahyudi yang di tahun tujuhpuluhan melantunkan musikalisasi puisi Sapardi ternyata meninggalkan catatan untuk tidak dipungkiri seperti Asep Samboja yang dengan tekad kuat meninggalkan catatan bangku kuliah dengan sajak inmemoriam yang bikin heboh di mailing list ketika sajak itu dirilis.
Boo, Des 2005

Tidak ada komentar: