Minggu, 20 Januari 2008

LAGU CINTA LARASATI

LAGU CINTA LARASATI
kepada Larasati dalam hidupku

senja pancarkan warna kesumba jatuh di dadaku bak purnama penuh
dada teduh bagi pejalan jauh tempat luruh segala rengkuh
ya, Larasati
aku menanti saat fajar dini hari
sapa ramah mentari
wahai, hari yang luruh
menebarkan cerita-cerita purba>mewangikan tubuhku
mempersiapkan pertemuan kekasih
yang kini sedang menuju

ya, Larasati yang sendiri
tanpa sanak tanpa kadang
selalu menanti tak henti-henti
sapaan mentari, sapaan lelaki
wahai, Arjuna yang tampan
kabarkan kedatangan tuan
bisa mati rindu ini menikam
saat ranjang pualam makin kusam

kemarin hari
siap kesturi menutup diri lela telanjang dada di depan cermin
meraba diri pribadi dalam dahaga puncak cipta-cinta senggama
ah, bungaku
bunga cinta di taman perdu
tidakkah kau baurkan wangimu
agar mampu menyeret sukma
hingga tiba yang diharap

ya, Larasati
belahan jiwa lelaki
dambaan pejalan yang lupa arah
penuntun singgah bagi yang lelah
walau gerah itu membakar, tetap saja menggenggam harap
agar pintu terbuka senantiasa

saat pagi mengusap tubuh di kali
aroma itu memakukan janji
hari ini pasti datang, hari ini kau kujelang
begitu purba waktu itu mengetuk-ngetuk
begitu langka satwa menyanyikan masmur

janji lelaki, Larasati, janji yang tak pernah mati
setiap saat akan terlepas, setiap saat akan terlupa
pada saatnya rengkuh pagut memaksa membunuh asap curiga yang kemarin
yang terbakar saat sesaji mematut diri

ya, Larasati
buah hati lelaki saat ranum fajar mematut diri, saat jumpa membakar sukma
lelaki, lelaki, kapan kau singgah
pada dermaga sepi kapal sandar?
pada tali temali rapuh?

saat matahari sepenggalah
lelaki itu datang, Larasati
dengan dada telanjang, tatap mata gelora samodra
langkah gegas siap kembara kemudian luruh menatap bunga taman
begitu sejuk taman ini. tangan siapa yang mengusapmu, bunga?
siapa yang mencurahkan kasihnya?

ah, Arjuna perjaka sepanjang masa begitu tega menyiksa sukma
pintu terbuka tak teraba, bunga liar disapa bak mawar
ah, lelaki yang dahaga
masih juga berpura-pura

ya Arjuna, di sini Larasati menanti
kapanpun selalu menyongsong, sudah siap air kesturi
pembasuh kaki yang berdebu, pendingin sukma yang bergelinjang

ya, Arjuna sayang
begitu tega berlama-lama menatap bunga yang mekar sesaat
luruh ketika senja
sedang Larasati menanti, mematut diri aroma kesturi

wahai, dinda Larasati
di mana pintu di mana lampu?
begitu samar kau mengundang kemudian hilang dalam kesuraman malam
ah, dasar lelaki masih juga sangsi
pintu ini tak terkunci senantiasa menanti, senantiasa berjanji>untuk tetap tak bunyi

ya, Larasati
perempuan cantik turunan gunung anak pertapa
di kaki gunung tergoda lelaki pemburu satwa pemburu bunga
ya, itulah janji
ketika tiba tak lagi di tawar, ketika malam mendekap sukma
begitu penuh jiwa tertumpah
ya, Larasati
aku jatuh hati pada lelaki yang memberi janji
saat tangan terpagut begitu gemetar jiwa bergolak
milik siapa ini tersisi, milik sendiri terlari
ah, malu diri menyeret duka
saat tubuh merengkuh dada purnama dihisap lelaki dahaga
begitu haus dari kembara dengan rakus melumat semua
dan diri tersiksa dalam cerita mimpi sepenggal tergeletak
tanpa daya tanpa tenaga

ya, Larasati
terlara dalam sepi lelaki mimpi bagai bayi setelah kembara memaku
tergolek lemas dalam puas diri
Arjuna, Arjuna yang kini terlena
matanya padam, dadanya telanjang
tanpa diam mata Larasati menyusur bibir menurun ke dagu
dipagut satu merayap ke hulu, menari lidah pada lembah indah
dalam rencana tamasya ke dua
belantara itu menyesatkan Larasati, jangan kau terus masuk ke dalam
belantara itu begitu lebat Larasati, jangan kau rambah bisa tersesat
jangan takut, kanda
aku bukan orang yang tiba, Larasati putra pertapa petualang rimba pemburu hari
apalah arti rimba belantara sedang satwa liarpun berhenti kembara
ah, lelaki yang sangsi, hutanmu akan kubakar, sukmamu akan kulumat
lihatlah api itu takpadam!
ah, gelora yang memancar
ayo, kanda tumpahkan di dada purnama
rebah, rebahlah di dada subur
rengkuh, rengkuhlah segala harap
jangan kau lepas gapai-sangsai saat meniti puncak cakrawala
saat menikam gelora telaga

ah, hutanmu lelaki begitu mempesona, begitu menyesatkan
dada siapa takgemuruh, tangan siapa takgetar
saat memburu satwa liar yang mencoba lindap

ya, Larasati
wanita cantik menyusuri lembah memagut cinta, terus berjalan tanpa ragu
terus merambah tanpa sudah: dia pasti akan janji itu milik hakiki

ya, Larasati
yang mengundang mimpi tangan lelaki itu merayap menggapai-sangsai
tanpa lupa menggetarkan jagat diri melahap dunia yang terbuka semua
mengunyah nasihat terlepas di mimbar:
dunia luka, dunia nestapa taklagi menjadi tanya
purnama penuh di dada Larasati menyeret alpa menawarkan dahaga

ya, Larasati dinda bestari
kapan janji terbukti sebagai lelaki, bukan lagi bayi yang selalu menari
tapi Arjuna kini datang mencari (di mana kau Larasati, aku tersesat lagi)
malam belum larut, cahya gemintang, angin laut, swara satwa dan serangga
menuju pusar malam pualam dalam mimpi perawan bulan berjalan ke barat
merenangi bola bumi menebarkan swara kasih menyusupi dedaunan dan buah ranum
aroma kesturi lelaki melela angan menghanyut bersama tembang asmaradahana

duh, kekasih
kapan tiba waktu bertandang bercengkrama, merenda malam mematut alam
serasa jam tak berdetak lurus rumputan dalam diam
wanginya malam purnama begitu menggoda sukma, menyusuri bebatuan jalan
menghitung bintang, menepis angin yang bermain memburai-burai anak rambut
ah, bintang senja yang lari begitu tega mencibir diri
menanti tanpa watas hingga dini hari tak terbagi
ah, mata nyalang sembab dalam tangis rindu tak terbalas, tak tertanda
burung-burung malam bertegur-tegur mendirikan bulu roma wartakan cerita
purba bagi cinta ke dua selalu di akhir nestapa lara, makian pedas perebut cinta penggoda terlaknat!

ah, dewa Kama
dewa jiwa kembara berbagi rasa, berbagi cerita
gapaian langsai, rengkuhan mesra hangat membara dalam dada
sesak nafas hari berlari memburu mimpi dini hari
fajar datang, kanda
ranjang itu seperti senja tanpa kusut masai rambut, tergerai kelam warna
tilam dingin bantal-guling menghunjamkan nyeri di hati
burung kita bernyanyi, kanda
meloncati rerantingan mematuk serangga, ulat kecil, bercerita tentang musim
pertanda hari esok
burung itu berpasangan, kanda
berlompatan saling memagut membagi ulat, membagi serangga, memburu hari
membangun sarang menyiapkan hari cericit paruh mungil bulatan telur kasih:
siap dieram siap didekam

matahari mengintip jendela kamar tepat pagutan kasih kian reda
telanjang dada menatap cakrawala, desah nafas pejalan kemalaman lentera
padam menjelang fajar aroma subuh dalam rengkuh memastikan kenihilan diri
matahari merayap makin murka dalam ayunan kecewa
mata rebah dalam palung menggelung diri dalam sangsi
tak ada harap-pesan menunggu hari berganti malam

saat matahari melewati cakrawala diri tergolek lara tanpa kawan
mau bicara tak ada lawan, kacapun enggan bertatap wajah kusut
menggores lapar di perut tak ada hasrat melangkah, mematut diri
di luar jendela hari berputar diri dalam diam alam
jiwa lapar dahaga tak terbaca menyusuri jalanan pegunungan
lewat angan limbung menunggu kabar burung
siang menjelang sore burung datang berceloteh tentang kota
ada arakan panjang menuju istana mengiring sepasang jaka-perawan
meniti pelaminan mengikrarkan hidup
ah, diri malang dalam paruh menunggu hari luruh, mengunci senja
dengan dendang tembang megatruh

warna kesumba melela cakrawala, langit mengaca di lautan telaga warna
begitu muda warna langit membiaskan rona di pipi, menunggu sentuhan kasih
berjalan meniti pematang meloncati selokan dan rumputan jalanan
ah, bunga apa lagi yang kaukirim saat diri resah menatap alam
menunggu pagut berdenyut, menunggu sapa teraba

burung-burung sore berkicau menutup hari, bercinta sepanjang hari dengan
angin menciumi mega, memeluk gunung dan berbaring di pasir sepanjang pantai sepi
burung-burung sore membawa aroma kasih leleh di sela jiwa kembara
tuan Arjuna, bukan?
raja jiwa dalam dahaga mengoyak dinding kesetiaan sabda
Arjuna, Arjuna!
menawarkan anggur cinta memabukkan, menyeret sukma kembara pemenuh buku harian perawan sunthi kehabisan kata, mengeja kesempurnaan diri didamba
senja tiba di hari kedua dalam temaram lampu, jiwa haus menatap nanar
jendela kabar terbuka menggoda serangga malam bernyanyi ria menyapa alam
makin pualam
melengkapi perjamuan siap dinanti

senja terus berjalan mengguratkan warna kelabu
pintu terbuka menanti warta sang Arjuna
merpati cinta telah dikirim tidakkah gentanya bergaung di istana,
mewartakan kedirian hamba sahaya meranggas menanti kunjungan?
sang Arjuna begitu tega menyiksa pinta dalam senja kian pualam
gemintang gemerlap memenuhi persada dengan cahya kudus, malam menuju puncak
saat birahi menanti mengajak berenang menuju mimpi hingga dini
mencari bunyi ketruk peronda, satwa malam, uir belalang dan tusukan embun pagi
menuju pualam puri tanpa lewat pecahan diri-kesturi ini
siap sejak pagi membasuh kaki membersihkan diri dari goda petaka serapah
ah, malam tempat tinggal jahanam jangan tiba saat lakiku merengkuh
menyusuri perbukitan malam menuju puncak pualam
jangan kau tebarkan hawa kianat saat bibir terpagut tangan bertaut
layang angan membawa kabut hingga tiba sang maut

Bogor, 1989-1994

MEMBANDING TIGA SAJAK


MEMBANDING TIGA SAJAK SAPARDI DJOKO DAMONO YANG SEWAKTU
DENGAN TIGA SAJAKKU


Sapardi Djoko Damono (Duka Mu Abadi)
Cunong N. Suraja
SAAT SEBELUM BERANGKAT
PENGUBURAN
mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata di antara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama

sampai tak ada yang sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti
langit bersyal warna hitam meluruhkan bunga
menabur pada batu nisan hitam
dengan dasi hitam lekam (legam?)juru kunci menuntun
kuda berbulu hitam menguak semak dan membaringkan
tubuh kaku dan putih, pada rahim bumi
BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH
UPACARA TERAKHIR
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
dengan lembut diletakkan untaian bunga melati
di pintu yang mungil yang menganga menyilakan
kaki ramping yang bagai tubuh leli
lembut sapa angin pagi yang atis
dan dengan sendu pepohonan menggoyang rerantingan
dan berguguran bunga berwarna pucat
serta tujuh helai daun terpelanting di atas bumi yang basah
SEHABIS MENGANTAR JENAZAH
PENGEJARAN
masih adakah yang akan kautanyakan
tentang hal itu? Hujan pun sudah selesai
sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap
di bawah bunga-bunga menua, musim yang senja

pulanglah dengan payung di tangan, tertutup
anak-anak kembali bermain di jalanan basah
seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya

masih adakah? Alanglah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba
dalam kelelapan angan membius
dia tarik terali kuda hitam yang mencongklang
menembus kabut pagi yang pekat untuk menemukan
inti dari hidupnya yang cuma tersenyum dengan asri

Dalam proses selalu dimulai dengan menyerupai, menyamakan, terimbasi, menjiplak atau menanggapi sampai pada yang dikatakan pengikut setia yang buta dengan menggunakan kacamata kuda. (Sebuah proses selalu bermula dari meniru bukan menjiplak, karena dalam tiruan ada kemiripan bukan yang dikenal dengan istilah copy – paste yang tentunya akan menjadi sama persis atau pantulan cermin. Meniru masih dalam proses kreatif karena masih jauh dari kesamaan. Meniru telah dilakukan oleh anak Adam sejak pembunuhan pertama kali dengan peristiwa dua ekor burung yang saling berpatuk-patukan dan menyebabkan kematian yang satu dan kemudian yang lain menguburkannya.) Maka tidak mengherankan kalau kejadian sajak kembar dengan kualitas yang beda akan muncul bertebaran di sembarang terbitan puisi baik di media cetak dan elektronik maupun yang membeku dalam bentuk buku antologi.
Peristiwa itu juga terjadi pada sajakku yang terbit 1976 di koran Yogyakarta bernama Berita Nasional atau Bernas. Sajak itu muncul ketika terjadi upacara pemberangkatan jenazah di depan rumah. Para pelayat atau tamu berdiri di halaman rumah dibagikan gula-gula sedang pemimpin upacara mengucapkan kata terima kasih dan ucapan bela sungkawa. Cuaca mendung lewat jam sepuluh pagi. Banyak pelayat berbaju hitam. Payung dikembangkan memayungi keranda yang tertutup kain hijau dengan tulisan huruf Arab dengan warna keemasan. Tiga sajak Sapardi dalam buku Duka Mu Abadi yang disebut oleh Teuw dalam esainya sebagai sewaktu terbayang dengan jelas suasananya. Melarutnya suasana itu terus menempel hingga lahir tiga sajakku dalam satu hentakan mesin ketik walau kadar warna hitam cukup menguasai ketiganya. Suasana mendung, Harapan yang ditinggalkan si mati. Yang agak berbeda dengan Sapardi yang sesuai dengan judul buku kumpulan puisi: teramat muram. Sajakku masih menyisakan asa yang cerah dengan larik:
menembus kabut pagi yang pekat untuk menemukan
inti dari hidupnya yang cuma tersenyum dengan asri
Bandingkan dengan bait sajak Sapardi:
... Alanglah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba
Tampak nyata pengaruh suasana dalam sajak Sapardi tidak sepenuhnya menguasai suasana sajakku. Kemudian simak tentang panjang bait sajakku cukup dengan satu sedang Sapardi memerlukan dua bait bahkan tiga pada sajak ketiga. tampak pengalaman batin Sapardi yang komplit sedang sajakku hanya menyentuh pemandangan kasat mata. Tidak menukik sampai pada kedalaman hidup yang tampak pada baris:
Waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti (sajak 1)
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya (sajak 2)

seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya (sajak 3)

Bandingkan dengan naifnya sajakku pada bait penguncinya:

langit bersyal warna hitam meluruhkan bunga
menabur pada batu nisan hitam (sajak 1)

di pintu yang mungil yang menganga menyilakan
kaki ramping yang bagai tubuh leli (sajak 2)

dalam kelelapan angan membius
dia tarik terali kuda hitam yang mencongklang (sajak 3)

Bagaimanapun juga kepekaan dan pengalaman batin membendakan kadar sajak penyair yang lebih dulu berkiprah dibandingkan dengan penyair yang mulai menulis dan banyak membaca sajak pendahulunya. Sajak Sapardi Djoko Damono dan Subagio Sastrowardoyo merupakan sajak yang bagus untuk dibaca penyair pemula yang sedang ranum-ranumnya untuk membuahkan percikkan bebungaan imajinya.
Semoga bermanfaat.

Bogor seusai hujan sore di hari paskah 2007.

APOLOGIA SENO

apologia seno अतस sastra harus berbicara ketika koran dibungkam


Membaca Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra harus Bicara edisi kedua buku Seno Gumira Ajidarma yang merupakan refleksi “kemarahan” ketika dicopot dari kedudukannya sebagai editor (… karena laporan tentang Insiden Dili dalam Jakarta Jakarta …perusahaan tempat saya bekerja menghentikan saya – dan dua kawan lain – dari tugas sebagai editor … hal. 40) atas fakta yang difiksikan maka kita harus siap menerima “kelicikan” Seno dalam berkreasi membentuk tulisan (sastra!) baik cerita pendek maupun novelnya yang menyulap fakta menjadi fiksi dengan kelincahan sebagai tukang atau pengrajin kata-kata dengan menggandalkan hasil wawancara nyata dengan “korban” kebijakasanaan rezim pemerintah yang tidak mau digoyang (sila simak pada halaman 146 – 147: … sebuah teks dari kategori jurnalistik, ternyata tidak harus berubah banyak ketika ditransfer ke format cerpen maupun novel.). Seno pun sampai pada kesimpulan bahwa “Itulah sebabnya saya tidak lagi mempersoalkan bagaimana caranya kesusastraan mampu menggenggam kebenaran, melainkan bagaimanakah caranya kesustraan itu berada, bagaimana caranya kesusastraan tertanggungjawabkan keberadaannya, yang bisa dirumuskan kembali sebagai: apa yang bisa dikatakan seorang penulis tentang teks yang ditulisnya sendiri, sebagai suatu pertanggungjawaban? (hal. 142-143). Jelas ini pengungkapan ulangan seperti juga pengakuan Seno sendiri bahwa dia sering-mengulang-ulang catatannya Insiden Dili dalam.tulisannya Fiksi, Jurnalisme, Sejarah: Sebuah Koreksi Diri dan juga tentang pemecatan di Tentang Empat Cerpen, Jakarta Jakarta dan Insiden Dili, Fiksi, Jurnalisme, Sejarah: Sebuah Koreksi Diri,dan “Timor Timur” dalam Kisah Pertukangan mengolah Fakta Menjadi Fiksi. Dedam itu begitu menggumpal selama dua tahun menjadi 12 cerita pendek dan satu novel. bahkan dalam suatu perbincangan di forum diskusi menovelkan film, Seno juga mengaku bahwa dia dipesan untuk menovelkan Biola tak Berdawai yang harus dikerjakan cepat dengan jumlah halaman tertentu, sehingga sebelum dia memenuhi jumlah halaman harus menyisipkan cerita sempalan tentang wayang, ataupun tentang ilmu jiwa sehingga novel itu pas sesuai dengan jumlah halaman yang dipesan dan dia sudah tidak lagi membaca ulang untuk menyunting. Pengalaman menukang cerita pesanan itu sudah dijalanani ketika bergabung dengan Putu Wijaya mengasuh almarhumah majalah Zaman.
Sebagai bahan bacaan enteng berisi seperti motonya almarhumah majalah Minggu Pagi di Yogyakarta, buku yang mirip buku saku dengan mudah dibawa-bawa dalam kantong jaket akan menjadikan buku ini rujukan bagi penulis cerita pendek maupun novel pemula. Sungguh bagus jika guru-guru bahasa Indonesia juga membacanya untuk melatih menyiasati membuat fiksi (syukur lagi kalau terbit di Koran atau majalah dan jadi buku, dapat untuk menambah panjang hidupnya tungku di dapur dalam bulan itu, yang kata Prof. Winarno Surachmat: gaji sebulan habis sehari dan mengajar di kandang ayam!) Jarang-jarang ada koki membuka rahasia dapur selugas Seno, biar itu Putu, Linus dan semua penulis yang pernah mengungkapkan cara menulis dalam bukunya Pamusuk Eneste Proses Kreatif, tetap tidak selugas dan setelanjang Seno yang sedang berkobar “dendam” atas fakta-fakta yang difiksikan atau sebaliknya di negeri yang tercinta dengan cap NKRI tanpa dapat ditawar itu. Nyatanya ……
Sebagai pembaca yang saat Dili jadi topik pembicaraan tidak pernah terlintas dalam mimpi untuk mencermati, maka buku ini sebagai pengantar menuju sikap abai pada peristiwa yang “mengerikan dan menjijikkan” dari sebuah bangsa yang berbudaya adi luhung: Pembunuhan manusia tanpa dosa sebagaimana tragedi 1965 maupun “penyembelihan atan pembantaian” nyawa dari peristiwa yang lain sepanjang sejarah bangsa ini. Terima kasih juga untuk cerita Seno yang berlatar belakang Mei 1998, karena satu-satunya pengarang yang dengan lugas seperti laporan pandangan mata seorang wartawan (atau Batman?) tentang sebuah kekejian, pembaca dengan mudah memamahi cerita yang kelabu itu dari cerita pendek “Clara” lain tidak!

Bogor Jan 06