Rabu, 07 April 2010

KRISTALISASI SASTRA CYBER

Bermula dari sekelompok penulis dalam mailing list yang menyatakan diri sebagai penyair dan mengumpulkan karya puisi mereka dan dicetak dalam kemasan buku dengan label sastra cyber maka jatuhlah talak tiga media sastra cetak bawha itu bukan karya cyber tapi merupakan sastra “tong sampah” dan di kemudian hari muncullah sastra FB alias fasilitas facebook yang sudah tak terlabeli sastra “tong sampah”. Maka sampah sampah itu telah bertiwikrama jadi humus kompos rabuk organic yang menyuburkan persemaian sastra yang terwadahi dalam Jurnal Sastratuhan Hudan (JSH)yang dieditori secara maniri oleh penulis “Nabi tanpa Tuhan”. Sila klik : http://www.facebook.com/group.php?gid=33090570679#!/profile.php?v=feed&story_fbid=104835496217082&id=100000033210870. atau dua ;agi link yang dapat ditilik juga menawarkan nostalgia masa depan adalah http://kopisastracyber.webs.com/puisi%20pemberontakan.html, dan arwah Cybersastra dibangkitkan lagi oleh pengampunya sekaligus bidan dan taraji juga dukun mantra dari Universitas Brawijaya dalam lembaran facebook group: http://www.facebook.com/home.php?#!/group.php?gid=33090570679.

Apa makna kebangkitan cybersastra dalam padang persemaian perkawanan facebook? Kembali makna saling asah, saling asuh dan saling asih termanifestasikan dalam manifesto sastra pembebasan model Heri Latief, maupun Apresiasi Sastra yang tidak lagi terbagi dalam kasta-kasta yang melambangkan kotak-kotak atau bilik-bilik budaya dengan membedakan nilai kemanusiaan, kecuali JSH yang masih menyilahkan sekat kasta guru dan kasta murid.

Bagi peminat dan penikmat sastra sebenarnya labelisasi sastra baik mulai sastra lisan, sastra klangenan, sastra hiburan, sastra tulis, sastra cetak, sastra koran, sastra buku, sastra kampus, sastra akademis, sastra kampong (bukan kampungan!), sastra pedalaman, sastra pesisir, sastra bilik/klosed/kamar maupun sastra terbuka pada tembok kota tidak begitu dimaknai dengan acuh dan abai semua bergeming dipusar edarnya masing-masing. Hanya sisa-sisa pemikiran colonial yang ingin membangkitkan feodalistis yang menindas dan fasistis yang ingin adanya kelanggengan pengkotakan antara sastra Balai Poestaka dan Sastra Melayu Pasar yang dahulu didominasi etnis Tionghwa.

Pertemanan di FB yang dapat diakses terbuka tertutup semau gue juga memudahkan pengereman emosi yang meluap-luap jebol membanjiri layar dan kotak komen tar dengan makian maupun pujian, ini juga mengin gatkan fasilitas pertama internet yang dikenal dengan Social Culture Indonesia (SCI) dan sebuah mailing lisr APAKABAR yang dikelola dari negeri Kincir Angin tempat Don Qisot berperang melawan raksasa.

Link dan group yang ditawarkan oleh fasilitasi FB ternyata telah membekakkan makna sastra cyber dan memunculkan kembali krital-kristal lama yang terendam dalam badai kemandegan kesohiban yang sekarang cair mengalir kembali tanpa dituntut adanta iuran bulanan kecuali ada wacana dari pemilik FB meminta bayaran, padahal FB sudah menangguk cukup banyak uang produksi iklan yang nempel di segala lekuk liku sudut segit hamparan penampikan FB. Perlukah laut digarami lagi supaya terasa asin dan mengapungkan segala benda yang berberat jeanis kurang dari satu?
Kabar kabur penelitian karya FB yang melebihi jumlah halaman terbitan majalah sastra Horison tampaknya akan jadi pemicu kebenaran bawa kristal-kristal sastra cyber yang dulu diberi label sastra tong sampah ternyata telah memekar-memar-merahkan persada sastra Indonesia karena sejatinya sastra tong sampah itu utamanya berbahasa Indonesia.

Tidak ada komentar: