Rabu, 12 Maret 2008

MEMBUNUH RUH PUISI

MEMBUNUH RUH PUISI

Asep Samboja
IN MEMORIAM SAPARDI DJOKO DAMONO
I
aku mencintaimu dengan sederhana
meski kau tak pernah mencintaiku
tapi tak mengapa, sebab antara sengaja
dan tidak sengaja mencintai sama sekali
tidak ada pembatasnya. Kalau kau
bertemu denganNya, katakan aku hanya ingin …
II
seusai mengantar jenazahmu
pohon demi pohon masih menundukkan kepala
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi …
III
waktu aku berjalan ke barat pada malam hari, gelap
mengikuti di belakang, aku tak menemukan bayang-bayang
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa
di antara kami yang telah menyembunyikan bayang-bayang
IV
potretmu tentu ada dalam sajak ini, bersama
eliot, goenawan mohamad, chairil anwar,
sutardji calzoum bachri, taufiq ismail, amir hamzah
hamzah fansuri, rendra, wiji thukul, ronggowarsito, mpu kanwa …

Mailing List Penyair dalam layanan gratis situs Yahoo pernah muncul kehebohan atas sebuah sajak atau puisi (kutipan di atas) yang ditulis anggotanya (Asep Samboja). Puisi ini mengundang heboh karena dianggap sebuah kenyataan, maka check and recheck atas kebenaran wafatnya seorang penyair liris terbesar di Indonesia diburu hingga Asep Samboja yang notabene adalah anak didik dan sekarang sekaligus menjadi tenaga pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dituntut untuk menerjemahkan apa makna puisinya. Jadilah harakiri penyair yang menguliti puisi sehingga telanjang tanpa ruh. Puisi itu menggelepar-gelepar di tangan penyairnya. Dan penyairnya berdarah-darah tersayat-sayat kulit kreativitasnya. Alih-alih membuat sebuah katarsis malahan menjadi pesta bunuh diri membuka tabir rahasia penciptaannya.
Padahal sebagai pembaca mestinya mencoba memahami apa yang diungkap oleh penyair hanyalah membuat resonansi dan gema dari semua sajak Sapardi yang mempunyai pesona khusus dan melekat erat pada proses perjalanan penyair dengan dibuktikan mengutip dengan senonoh frase-frase atau ungkapan unik Sapardi dalam puisi itu. Andai pembaca mailing list itu agak sabar pasti akan menemukan frase khas sajak Sapardi yang “diembat” untuk menyusun sebuah bangunan imaji yang memang pantas diacungi dua jempol tangan kiri kanan. Asep Samboja telah berusaha melepaskan kulit jangat kepenyairannya dari kupasan gebalau pengaruh Sapardi. Dengan kata lain dia sudah “emoh” menjadi epigon. Padahal (sesungguhnya) menjadi epigon adalah sebuah proses yang akan menjembatani menjadi pribadi mandiri sejati.
Kembali pada peristiwa kreatif penyucian diri lewat ungkapan “selamat tinggal” dengan cara Asep Samboja adalah cara membunuh ruh puisi. Memutus hubungan keterikatan batin yang dalam kreativitas selalu dicurigai sebagai epigon bukan proses “plagiarism” atau penyontekan penjiplakan mentah-mentah dan menjadi bayangan anak kembar cloning pada penyair yang dipujanya. Sebuah proses selalu bermula dari meniru bukan menjiplak, karena dalam tiruan ada kemiripan bukan yang dikenal dengan istilah copy – paste yang tentunya akan menjadi sama persis atau pantulan cermin. Meniru masih dalam proses kreatif karena masih jauh dari kesamaan. Meniru telah dilakukan oleh anak Adam sejak pembunuhan pertama kali dengan peristiwa dua ekor burung yang saling berpatuk-patukan dan menyebabkan kematian yang satu dan kemudian yang lain menguburkannya.
Proses Asep yang seakan “mengingkari” layaknya “kacang lupa pada kulitnya” sebenarnya proses kedewasaan atau kemandirian yang tentunya perlu diuji dari karya-karya Asep selanjutnya setelah peristiwa kreatif yang menghebohkan di ruang maya dalam mailing list penyair. Apakah karya Asep sudah mandiri tanpa bekas jejak lirik Sapardian? Apakah Asep menghasilkan puitika lirika lebih baik dari sajak puncak Sapardi? Dan menjadi sajak-sajak lebih memuncak dari lirika Sapardian! Itu yang perlu dibuktikan setelah berhasil membunuh ruh puisi Sapardi dan melebur menjadi milik pribadi Asep. Dalam cerita silat penyair itu telah menggabungkan segala unsur “yin” dan “yang” dan menciptakan jurus maut terbaru yang mematikan .
Peristiwa pembunuhan ruh puisi itu menetaskan jabang penyair baru dengan pamor baru dengan lagak lebih berkilat setelah merucat sukmanya menjadi sukma mandiri. Walaupun kalau dirunut ke belakang Sapardi juga tak lepas dari bayang-bayang penyair barat maupun dari dataran Tiongkok yang lebih terkenal pada lukisan pit (semacam pena atau kuas untuk menulis huruf Cina) Cina yang puitis. Sapardi juga tidak sendirian mengikuti jejak penyair yang dikenal dengan penyair imajis seperti juga Subagio Sastrowardoyo maupun Goenawan Mohamad maupun mitos Chairil Anwar peletak batu pertama puisi Indonesia modern yang punya cap “pencuri” dalam mengadaptasi sajak orang Belanda dalam proses pencarian diri selain Amir Hamzah yang menjadi dua warga negara sekaligus (Indonesia dan Malaysia) dalam sejarah sastra.
Jadi bunuhlah ruh puisi yang kau kuntit jejaknya untuk menjadikan dirimu mandiri sejati. Jangan biarkan dirimu “mengekor” sepanjang usia kreatifmu.! Untuk itu selamat datang penyair Asep Samboja yang sudah bermetomorfose dengan cantik lewat sajak kutipan di atas.

Bogor pada hari Sepi 1929

Tidak ada komentar: