Rabu, 12 Maret 2008

MASIH BERSAMA MUSIM KUMPULAN SAJAK IBNU WAHYUDI

Masih Bersama Musim kumpulan sajak Ibnu Wahyudi (2005): Sebuah Catatan!

Mengutip catatan di kulit buku belakang bahwa orang yang sebagian besar hidupnya tinggal di daerah tropis seperti di Indonesia, cenderung tidak terlalu peduli dengan perubahan musim. Itulah sebabnya dengan bahasa yang santun Wahyudi menuliskan pengalaman puitisnya karena bersentuhan dengan empat musim ketika bermukim seberapa waktu (seperti catatannya: begitu seseorang yang berasal dari atau yang akrab dengan dua musim itu tinggal atau menetap untuk waktu yang cukup lama di sebuah tempat yang mengenal musim sebanyak empat).Berhadapan dengan empat musim itu penyair lebih banyak menyapa musim yang paling beda dengan dua musim yang diakrabi, maka jangan heran jika kata salju (yang ada dalam bacaan doa iftitah “memohon dibasuh dosanya dengan tsalj – salju”) merupakan suasana musim yang paling menghenyak (dalam catatannya: semacam kesadaran yang seperti inilah sebagian besar sajak dalam kumpulan ini dibangun: masih dibelenggu musim / kita pun menghindar untuk tak lagi menyerapah / tentang basah atau sengatan cuaca / karena kita memang tak layak mencercanya). Dengan bahasa yang santun dan rapi sesuai kaidah bahasa Indonesia (selayaknya Wahyudi setia pada uger-uger bahasa Indonesia karena latar belakang pendidikan Susastra Indonesia!).
Sajak-sajaknya mengalir memahami musim, walaupun ada beberapa sajaknya yang menyempal dari tema musim, terutama yang berbicara pada pengalaman batin personal dan catatan perjalanan sepanjang menguntit jejak langkah empat maupun dua musim. Minimal kita terkejut dan ngungun mendapati aku lirik yang tertegun dalam sajak: aneh, bunga magnolia ini
berkuntum dulu, baru berdaun
Pengalaman batin ini hanya muncul ketika mengalami musim semi setelah membeku dalam musim dingin yang suram. Hanya di empat musim peristiwa puitis ini akan hinggap di mata batin penyair yang membayangkan referensi di dua musim.
Dari beberapa sajak yang setia pada kaidah tata bahasa ada juga beberapa yang tidak, atau mencoba menerapkan hak penyair yang paling diagungkan licentia puitika. Diantaranya kata ketiba-tibaan (halaman 7), menggerimis, melayu (halaman 8), merindu (judul sajak halaman 9), dan semerepotkan (halaman 16).

Penyusunan sajak
Disamping keberanian penyair memaksa kata sifat menjadi kata kerja, ada lagi yang lebih membuat labirin pemahaman perjalanan penyair ketika mengelompokkan sajak dalam tiga bagian. Pembagian ini tidak ditemukan adanya kesamaan tema, atau kronologis penciptaan sajak bersandar pada titi mangsa yang senatiasa ada di akhir sajak lengkap dengan lokasi atau kota kelahiran sajak. Kalau dikatakan sajak ini semacam gado-gado juga tidak, karena keterikatan jenis “sayur” yang sejenis berbicara tentang musim atau dalam arti sempit cuaca.
Dari penyusunan sajak yang beraneka tanpa pola ini akan lebih nyaman kalau sajak yang berbicara tentang salju misalnya diikat dalam satu sub-title Salju, kemudian yang berbicara tentang sketsa perjalanan dan yang mengambil roh haiku. Tetap dibagi tiga bagian dengan tema yang lebih mencolok. Paling tidak pakai catatan titi mangsa sebagai alasan pengikatan menjadi kelompok.
Ada yang menarik dari sajak yang bertema salju dengan titi mangsa berbeda. Tampak kesan setia tanpa perubahan dunia batin penyair dalam menyiasati bayangan batin tentang pemahaman dan pemaknaan peristiwa salju. Simak sajak-sajak berikut:

Salju Pertama
salju pertama tiba dari cakrawala
adakah membawa warta gembira?

ia menjelma dari duka, agaknya

telah lama kita pun cuma berjaga-jaga
berada di antara daun-daun yang pergi
dibawa angin, jatuh sendiri-sendiri

salju pertama hari itu jadi juga bertamu
dengan cahaya dan harapan bertemu

lalu, di manakah kamu?
jangan-jangan masih dalam termangu

atau tengah mengendarai bianglala itu?
Dongdaemun, 1977

MERINDU SALJU
salju pertama pagi-pagi itu,
sungguh-sungguh menyapaku
di muka pintu

aku tentu menyapanya juga
lalu bercengkerema dengannya

sesekali kami berfoto bersama
sembari menumpah rindu

sekian lama yang ada hanya jemu
menunggu dan membuatmu kelu

salju yang tadi bertamu itu
telah tersaji lama dalam kanvasku
tercatat rapi dalam buku harianku

sesekali saja menjelma rindu

: tapi kenapa dirimu buru-buru berlalu
selagi aku masih mau mencadaimu?
Seoul, 1988
RINDU SALJU
rindu yang menunggu
takkan berlalu sebelum bertemu denganmu
: barangkali pada setiap musimmu
akan selalu ada mimpi tentang kelembutanmu

rinduku padamu pun
sesendu salju seperti dalam ceritamu
yang kau bagi melalui alunan pantun
tentang dingin yang sering membuat beku

maka aku ruapkan langenku itu
dengan membelaimu
malu-malu
Imun-dong, April 1998

SALJU ITU
salju itu cuma melayang pelan
tidak seperti hujan ia ringan
dan menyenangkan

juga tidak setajam hujan

kita pun masih meneruskan percakapan
kita biarkan juga ia mewarnai rambut dan pakaian
kita tetap tenang, kadang malahan menating tangan

ia memang tak semerepotkan hujan

segera saja kami menjadi kawan
tapi jangan-jangan aku cuma dibuatnya mainan
Imun-dong, 1998


KUBIARKAN SAJU
kubiarkan salju
dingin pun tak lagi sampai
Seoul 1998

MEMBURU SAJU
memburu salju
aku malahan menemukan rindu

matahari mencari pelangi
aku kehilangan pagi
Taenung, 1998
MUKAKU MEMBEKU
mukaku membeku, kelu
angin dan salju menyiletiku
sembilu dan meliau

aku mimpikan rembulan
yang ketika malam
suka mengundangku
berjalan-jalan di pelimban
Seoul, 1998

DESAH SALJU
ketika salju mengisyaratkan dirinya
segera kusiapkan telinga
untuk mendengarkan desahnya
juga gairahnya
Seoul, 1998

RINDU
dari mana ketiba-tibaan itu
yang selalu mengirim tanda-tanda
tanpa melalui perubahan cuaca

dibaginya cahaya tak bernama
atau debu yang selalu setia
mengabarkan rindu

bukan itu,
bukan suara yang menjelma batu
atau masa lalu yang tercabik waktu

tapi salju
yang lalu menjadi lamu

k a m u
Taenung, 1999


YANG MEMBEKU
yang membeku di jalan itu
bias jadi yang semalam memburu-buru
terlepas dari sela-sela nafasku
menggelegar di antara salju
Seoul, 1999


AKU TANGKAP SALJU
aku tangkap salju
ia menjadi rindu
mencair di sela-sela buku jari
mencari-cari pelangi

aku singkap bajumu
dan kau pun tersipu
dalam dingin yang membeku

aku tentu terkesiap lugu
selaksa magma di balik gaunmu
menunggu waktu yang selalu keliru
dengan engah yang mengharu biru
Imun-dong, 1999

Selain sajak yang terma sama: s a l j u, ada juga sajak yang cengengesan dan memudarkan imaji kesantunan dan kerapian Wahyudi dalam menyiasati imaji. Bandingkan sajak berikut dengan tema musim dan salju yang arif dan sungguh-sungguh kental dengan pesan dan kesan yang membumi.

MUSIM DINGIN
baju
berlapis-lapis

selalu
mau pipis

tak ada habis-habisnya
Insa-dong, 1999

SEBUAH KATA
sebuah kata
mengadu
kepada kamusnya

:
aku baru saja
(“dan sudah sekian lama,”
bisiknya)

diperkosa
Depok, 2002

Tetapi kecentilan dan kekenesan itu akan terbayar dengan sajak yang betul-betul cerdas dalam mengkaitkan referensi bacaan dan pengalaman batin penyair yang terungkap pada sajak:

MALAM CHUSOK
bulan penuh
telanjang

dan uh,
aku teringat
Sitor Situmorang
Taenung, 1998

Sajak ini yang memberi nyawa pada bagian ke dua kumpulan sajak Masih Bersama Musim dengan pertemuan haiku pada sajak Bertemu Haiku (halaman 29). Kelincahan imaji Wahyudi terbukti pada sajak-sajak pendek asalkan tidak tergelincir pada daya ungkap puisi mbeling ketika Majalah Musik Aktuil masih ada dengan komandan 23761.
Sebagai catatan akhir perlu mencatat Ibnu Wahyudi yang di tahun tujuhpuluhan melantunkan musikalisasi puisi Sapardi ternyata meninggalkan catatan untuk tidak dipungkiri seperti Asep Samboja yang dengan tekad kuat meninggalkan catatan bangku kuliah dengan sajak inmemoriam yang bikin heboh di mailing list ketika sajak itu dirilis.
Boo, Des 2005

MENDENGAR EKA BUDIANTA

Namanya memang saya kenal sejak tahun tujupuluhan dengan buku kumpulan puisi BEL, REL, BANG BANG TUT dan yang terakhir saya membaca buku Eka Budianta mengenang 80 tahun Pram Mendengar Pramudya.
Seperti warna suara dan gagasannya pada catatan tentang percakapan dengan Pram, Eka tak pernah saya jumpai dalam tulisannya yang bernada polemik, semisal Emha, Linus ataupun Korrie bahkan tidak serumit tulisan Afrizal maupun selincah esai Putu Wijaya maupun Seno Gumira Ajidarma.
Seperti hal semua alumi Fakultas Sastra UI yang senantiasa memunculkan diri lewat tulisan berbentuk puisi kecuali Dami N. Toda dan Pamusuk, Eka Budianta juga muncul dengan puisi-puisinya yang tidak berciri khusus semisal Joko Pinurbo dan Afrizal Malna. Puisinya yang cenderung liris dan personal yang banyak saya baca dari Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG dan Goenawan Mohamad sangat sedikit yang mengundang untuk dicermati layaknya puisi Afrizal Malna dan Joko Pinurbo.
Seingat saya sosok pribadi Eka Budianta secara tatap muka belum pernah bertemu secara fisik baik dalam seminar, diskusi atau ngobrol santai semasa zaman Presiden Penyair Malioboro Umbu Landu Paranggi di Yogya apalagi dengan Presiden Penyair Indonesia yang belum diganti-ganti. Masa percakapan kreatif tatap muka tanpa basa-basi yang sekarang lebih banyak muncul di internet yang menyebabkan saya ketemu Iwan Soekri yang juga saya kenal jejaknya lewat media koran tahun tujuhpuluhan, Medy Loekito, Nanang Suryadi dan beberapa penulis yang sebelumnya tidak terdekteksi sejak tahun delapanpuluhan yang hanya mengandalkan Majalah Horison dan Basis sebagai barometer ukuran keberhasilan karya sastra Indonesia.
Eka Budianta yang berbicara di forum peluncuran buku Graffiti Gratitude yang merupakan kelahiran YMS yang merupakan gugusan kelompok sastra multimedia pun saya temui dalam makalah yang terbit di Cybersastra net. Saya tak sempat bersulang dan bersua dengannya.
Hanya lewat Mendengar Pramudya saya menyapanya seperti mendengar Eka Budianta yang tidak pernah memunculkan pertengkaran pemikiran sebagai layaknya aliran Rawamangun dan kelompok penulis di luar kampus yang lebih mempercayai kemampuan melihat karya sastra lewat intuisi yang dipilah Budi Darma sebagai kelompok kritik akademis dan kelompok non-akademis
Eka Budianta yang seantiasa meyapa sesamanya tanpa wacana perdebatan.
Saya bersulang dan demi kekreatifitasan mengangkat tabik semoga makin panjang perjalanan Eka Budianta yang telah melewati garis aman setengah abad menurut who wants to be a millionaire!

MENCARI SIHAR DALAM "LORCA MEMOAR PENJAHAT TAK DIKENAL"

Lorca judul novel Sihar yang mengundang imaji pada penyair yang telah dijiplak oleh Rendra dalam Balada Orang-orang Tercinta (baca Subagio Sastrawardoyo pada Sosok Pribadi dalam Sajak, 1980) satu-satunya referensi yang tercatat dalam bawah sadar penulis, seakan membayangkan sebuah pementasan drama yang absurd dan memusingkan, ternyata tidak! Novel itu berjalan lurus tanpa kilas balik kecuali diawali dan diakhiri dengan Pro dan Epi-log dengan menampilkan pembicaraan dua perempuan Roseti dan Maria yang karakterisasinya sudah jelas tertulis sebelumnya. Nyaris tak ada kejutan yang mengharu-biru bahkan adegan sex (yang diumbar vulgar oleh penulis wanita semacam Ayu Utami dan Jenar Mahesa Ayu) terasa pas dan berisi dalam novel Sihar.
Sihar yang pernah juga bermain teater sangat rapi menjaga perkembangan karakterisasi yang berjiwa dari tokoh utamanya Lorca. Kita tak akan menemui kesulitan seandainya disuruh membuat scenario film, pemaparan lokasi kepulauan dekat rumah nelayan dan kota yang kumuh ataupun keadaan pulau terpencil tempat pengembaraan tokoh utama begitu gamblang tercetak dalam layar seluloid angan. Tidak ceriwis dan neko-neko. Kemampuan puitis dan pemilihan kata tidak berbelit dan rumit. Tapi yaitu nyaris tanpa gejolak perasaan dalam membacanya karena sudah dihantarkan dengan deskripsi penokohan layaknya naskah drama. Simak pembukaan yang sudah filmis ini:
Bangunan tua pertengahan abad ke-19, di satu sudut kota. Pepohonan dengan bermacam jenisnya, berjejer di sisi jalan yang masih lengang. Pagi menghias permukaan bukit dengan pepohonan hijau sejauh mata memandang. Ada sungai kecil yang berkelok. Anak-anak terlihat berlari di padang rumputan. Tuhan maha pemurah, semua mahluk sudah layaknya bergembira …
Kemudian kamera akan dengan sum in close up pada detil-detil bangunan gereja kuno dan kemudian hinggap pada middle close dua perempuan yang berbicara. Tetapi akan lain jika novel ini digubah jadi naskah drama. Adegan pertama jelas akan menyorot sebuah ruang tamu gereja dengan dua perempuan sedang berbicara setelah lighting man mengarahkan spot light ke dua sosok pemain yang duduk berhadapan dengan mulai dialog:
Maria: Sekarang saatnya, Suster …
Roseti: [dengan senyum terpaksa] Engkau telah tahu tentang riwayat abangku itu.
Maria: Aku ingin mendengarnya. Sekali lagi …
Roseti: Untuk apa? Agar ceritaku ini bias kau kisahkan pada orang lain? Agar semua tahu tentang keluarga kami? Tidak!
Begitu jernih dan terang bagai langit setelah hujan reda cerita bergulir dan dengan cepat menuju bab terakhir saat Lorca mau ditembak mati yang ditutup dengan cerita model film western penghadangan orang Indian pada rombongan manusia Eropa yang mencari tanah baru. Tembak menembak, membunuh dan darah muncrat di seluruh layar film angan kita. Dahsyat (kata Romo Mudji Sutrisno) mengantar pembaca dengan lembut tentang persoalan hati manusia yang mencari Tuhan, mencari makna hidup dan terkungkung oleh batas-batas suku, agama … mengajak kita menjadi makin manusiawi. Belum lagi sederet nama dengan beragam profesi yang telah menjadi proof reader novel sebelum terbit sampai pembaca dari negerinya Bush yang dapat didapat melalui hubungan pertemanan di dunia maya alias mailing list maupun electronic mail [e-mail].Sihar seorang sarjana sastra dengan pekerjaan wartawan yang bertemu dengan berbagai ragam macam manusia yang mengometari novel perdananya [yang terbit tercetak dalam bentuk buku].
Dalam mencari Tuhan novel Sihar bukan yang pertama, teta[pi pengungkapan dunia kelam (kejahatan dalam sebuah keluarga yang terbentuk oleh sikap kecurangan dan kekejian) ini baru novel! Untuk sekedar perbandingan, novel Memburu Kalacakra Ani Sekarningsih juga memburu tuhan dengan perkawinan dengan berbagai latar belakang etnis (dan upacara Bali paling menonjol!), juga karya korrie Layun Rampan Upacara serta Linus Suryadi AG dalam Pengakuan Pariyem juga mempertanyakan tuhan dengan gaya etis masing masing (Dayak dan Jawa) Pertanyaannya adalah siapa ini Sihar yang Simatupang? Di daerah Batak yang berpulau dan bernelayan agak sukar dicari lokasinya kecuali di bagian barat Sumatra yang lebih dekat dengan daerah yang kena bencana tsunami setahun yang lalu. Sihar di mana kamu berdiri dalam novel Lorca?
Bogor hari Valentine 2006
Cunong N. Suraja

MEMBUNUH RUH PUISI

MEMBUNUH RUH PUISI

Asep Samboja
IN MEMORIAM SAPARDI DJOKO DAMONO
I
aku mencintaimu dengan sederhana
meski kau tak pernah mencintaiku
tapi tak mengapa, sebab antara sengaja
dan tidak sengaja mencintai sama sekali
tidak ada pembatasnya. Kalau kau
bertemu denganNya, katakan aku hanya ingin …
II
seusai mengantar jenazahmu
pohon demi pohon masih menundukkan kepala
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi …
III
waktu aku berjalan ke barat pada malam hari, gelap
mengikuti di belakang, aku tak menemukan bayang-bayang
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa
di antara kami yang telah menyembunyikan bayang-bayang
IV
potretmu tentu ada dalam sajak ini, bersama
eliot, goenawan mohamad, chairil anwar,
sutardji calzoum bachri, taufiq ismail, amir hamzah
hamzah fansuri, rendra, wiji thukul, ronggowarsito, mpu kanwa …

Mailing List Penyair dalam layanan gratis situs Yahoo pernah muncul kehebohan atas sebuah sajak atau puisi (kutipan di atas) yang ditulis anggotanya (Asep Samboja). Puisi ini mengundang heboh karena dianggap sebuah kenyataan, maka check and recheck atas kebenaran wafatnya seorang penyair liris terbesar di Indonesia diburu hingga Asep Samboja yang notabene adalah anak didik dan sekarang sekaligus menjadi tenaga pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dituntut untuk menerjemahkan apa makna puisinya. Jadilah harakiri penyair yang menguliti puisi sehingga telanjang tanpa ruh. Puisi itu menggelepar-gelepar di tangan penyairnya. Dan penyairnya berdarah-darah tersayat-sayat kulit kreativitasnya. Alih-alih membuat sebuah katarsis malahan menjadi pesta bunuh diri membuka tabir rahasia penciptaannya.
Padahal sebagai pembaca mestinya mencoba memahami apa yang diungkap oleh penyair hanyalah membuat resonansi dan gema dari semua sajak Sapardi yang mempunyai pesona khusus dan melekat erat pada proses perjalanan penyair dengan dibuktikan mengutip dengan senonoh frase-frase atau ungkapan unik Sapardi dalam puisi itu. Andai pembaca mailing list itu agak sabar pasti akan menemukan frase khas sajak Sapardi yang “diembat” untuk menyusun sebuah bangunan imaji yang memang pantas diacungi dua jempol tangan kiri kanan. Asep Samboja telah berusaha melepaskan kulit jangat kepenyairannya dari kupasan gebalau pengaruh Sapardi. Dengan kata lain dia sudah “emoh” menjadi epigon. Padahal (sesungguhnya) menjadi epigon adalah sebuah proses yang akan menjembatani menjadi pribadi mandiri sejati.
Kembali pada peristiwa kreatif penyucian diri lewat ungkapan “selamat tinggal” dengan cara Asep Samboja adalah cara membunuh ruh puisi. Memutus hubungan keterikatan batin yang dalam kreativitas selalu dicurigai sebagai epigon bukan proses “plagiarism” atau penyontekan penjiplakan mentah-mentah dan menjadi bayangan anak kembar cloning pada penyair yang dipujanya. Sebuah proses selalu bermula dari meniru bukan menjiplak, karena dalam tiruan ada kemiripan bukan yang dikenal dengan istilah copy – paste yang tentunya akan menjadi sama persis atau pantulan cermin. Meniru masih dalam proses kreatif karena masih jauh dari kesamaan. Meniru telah dilakukan oleh anak Adam sejak pembunuhan pertama kali dengan peristiwa dua ekor burung yang saling berpatuk-patukan dan menyebabkan kematian yang satu dan kemudian yang lain menguburkannya.
Proses Asep yang seakan “mengingkari” layaknya “kacang lupa pada kulitnya” sebenarnya proses kedewasaan atau kemandirian yang tentunya perlu diuji dari karya-karya Asep selanjutnya setelah peristiwa kreatif yang menghebohkan di ruang maya dalam mailing list penyair. Apakah karya Asep sudah mandiri tanpa bekas jejak lirik Sapardian? Apakah Asep menghasilkan puitika lirika lebih baik dari sajak puncak Sapardi? Dan menjadi sajak-sajak lebih memuncak dari lirika Sapardian! Itu yang perlu dibuktikan setelah berhasil membunuh ruh puisi Sapardi dan melebur menjadi milik pribadi Asep. Dalam cerita silat penyair itu telah menggabungkan segala unsur “yin” dan “yang” dan menciptakan jurus maut terbaru yang mematikan .
Peristiwa pembunuhan ruh puisi itu menetaskan jabang penyair baru dengan pamor baru dengan lagak lebih berkilat setelah merucat sukmanya menjadi sukma mandiri. Walaupun kalau dirunut ke belakang Sapardi juga tak lepas dari bayang-bayang penyair barat maupun dari dataran Tiongkok yang lebih terkenal pada lukisan pit (semacam pena atau kuas untuk menulis huruf Cina) Cina yang puitis. Sapardi juga tidak sendirian mengikuti jejak penyair yang dikenal dengan penyair imajis seperti juga Subagio Sastrowardoyo maupun Goenawan Mohamad maupun mitos Chairil Anwar peletak batu pertama puisi Indonesia modern yang punya cap “pencuri” dalam mengadaptasi sajak orang Belanda dalam proses pencarian diri selain Amir Hamzah yang menjadi dua warga negara sekaligus (Indonesia dan Malaysia) dalam sejarah sastra.
Jadi bunuhlah ruh puisi yang kau kuntit jejaknya untuk menjadikan dirimu mandiri sejati. Jangan biarkan dirimu “mengekor” sepanjang usia kreatifmu.! Untuk itu selamat datang penyair Asep Samboja yang sudah bermetomorfose dengan cantik lewat sajak kutipan di atas.

Bogor pada hari Sepi 1929

KUMPULAN PUISI 2007

MENGULITI PUISI

PUISI SAPARDI

kucabuti segala kata hujan hingga penyair kedinginan
apalagi setelah hujan tak bisa meludahi malam
makin pualam wajahnya makin kelam sorot matanya
kemudian merenangi akuariumnya yang sunyi
sampai kutemukan sepotong dukanya makin mengabadi

kukutungi semua kata yang berbicara tentang bulan Juni
hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang
yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah
yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas

kureka seperti apa jika semua puisi Sapardi kuhitami
pastinya tinggal sehelai kartu pos dan lukisan cat air
yang berbicara tentang cinta yang tak lagi sederhana
sebab ternyata cinta bukan segalanya di dunia fana

PUISI SUTARDJI

seperti juga puisi Sapardi kukuliti milik Sutardji
kucabuti kepala dan huruf besarnya
kuhapus semua huruf yang liar mengubah warna kata
kuhitami jejak jalan keluar dari mesin pintar pengolah kata

seperti puisi Sapardi juga semua kata puisi Sutardji kusuruh harakiri
mereka saling menusuk seperti semut hitam saling membunuh
selayaknya desa yang berperang hanya merebutkan kata cinta terlarang
seperti para tentara Israel dengan pongah membombardir penduduk desa
yang tinggal anak-anak dan sejumlah perempuan renta
juga Amerika Serikat yang dermawan murah hati menjatuhkan bom napalem
di bumi Vietnam Selatan, Afghanistan, juga Irak
demikianlah sajak dan puisi Sutardji tinggal tanda baca saja

MATA PISAU PUISI SAPARDI

kata berujung matanya menetak urat nadi
menggurat dalam daging dan mengiris syaraf

kata itu menusuk kiri kanan syaraf yang terbuka
melelehkan aroma bunga musim semi
dan sebuah kartu pos menggambarinya tentang seseorang
yang berdiri dengan jaket tebal memandang ke dalamnya
PUISI SUBAGIO

dewa mabuk mati di planet menyiulkan keroncong Motinggo
makin akrab kematian itu seakan mega berarak di ranjang
membungkukkan patah punggung tapi tepat saja luput terindu

pada sepi yang meninggi seakan Chairil Anwar di senja pelabuhan kecil
iseng dengan rohnya dan meluncur ke dalam lembah Kilimanjaro
sebuah daerah perbatasan antara bawah sadar dan mimpi yang tak terbantahkan
layang bayangan dan matahari Sapardi yang berebut mata pisau

PUISI RENDRA

demikian juga puisi Rendra sama halnya puisi Sapardi dan Sutardji kupenggali kalimat demi kalimat yang memberontak pada penguasa zalim dan membela si miskin
semua panorama senjakala dan suasana di stasiun bawah tanah di New York kuhitamkan dengan tinta spidol yang beraroma alkohol memabukkan dan meracuni udara kota

puisi Rendra jadi seperti ayam trondol tanpa bulu, gundul tanpa rambut dan botak mengkilap sehingga kehilangan pesona sajaknya
Rendra merunduk dalam belantara kata-kata seperti ketika meringkuk dalam tahanan di jalan Guntur tangannya selalu mengepal meneriakkan perlawanan mirip Wiji Thukul dengan kata lawan yang menghilangkan manusiawinya hingga sekarang

Rendra diam membisu ketika kutawarkan sebatang lisong dan jagung yang teronggok di sudut sekolah tempat guru dan murid bercengkrema melampiaskan hasrat berkuasa dan menangisi usianya yang sia-sia dalam sebuah pidato kebudayaan

PUISI GOENAWAN MOHAMAD

yang satu ini penyair yang bagai guci antik yang retak dalam dingin tak tercatat dan menuliskan kata Sarajevo penuh lalat dan ketidakadilan selayaknya Pulau Buru tempat tapol diperam membajak tanah dan tak lagi berhubungan dengan sanak kerabat maupun dunia yang senantiasa berputar

yang satu ini memang seorang penulis catatan pinggir yang tak mau minggir dari jabatan tertingginya di dunia tulis menulis sehingga menutupi kanal-kanal prioritas penulis muda untuk berkiprah dan menorehkan puisinya di sebuah kalam

yang satu ini senantiasa menyuarakan suara bawah tanah yang menguak ketidakadilan dan kesenjangan budaya antar bangsa

PUISI TALI SUTARDJI

bait puisi melingkari jalan nafas menjerat nadi
merobek mesin kawin yang terdiri dari patahan huruf
PUTU WIJAYA DICABOK PUISI

pergi kataku ke stasiun dan keok oleh yel dan rel juga shit yang mengentuti lho
dalam repertoar seorang kakek yang selalu mengatakan tidak dalam perjalanan dalam bemo dan digantung di depan stasiun kota yang tiba-tiba malam tak sampai tiga bulan
huruf-huruf memberontak menolak memberi makna kata
memburu mimpi penyair dan menyalip di bukit cinta
kemudian kepala itu digosok-gosokan ke dinding bukit berbatu
kemudian bukit berbatu itu bersimbah darah
kemudian darah itu memecah melepaskan diri dari makna huruf
kemudian roboh di atas panggung dan kembali dalam bentuk huruf mesin ketik

penyair dirubungi berhuruf-huruf tanpa berkata-kata yang bermakna

GAS PUISI GOENAWAN MOHAMAD

rima sajak menyesak ke peparu melumpuhkan nadi
menggocangkan dunia kata-kata menjadi dunia guci retak

lalat-lalat berbaris menuruni panggung seusai Naga Taksaka menggigit apel
menusukkan racun bisanya ke tubuh raja lalim Parikesit
yang selingkuh dengan membunuh istri naga
yang memburu keburu-buru membunuh kijang bunting
yang memutuskan perkara dengan niat menguasai harta
yang tidak berani pergi berperang memerangi angkara yang menyengsarakan penduduk
yang menangis setelah dikutuk akan mati digigit ulat yang sembunyi dalam buah jambu
(jadi bukan apel seperti dituliskan dahulu oleh penyair Amerika Serikat!)

KURSI RENDRA LISTRIK PUISI

loncatan aliterasi menyengat di ujung nadi
dan jatuh dalam pelukan malam tanpa bulan Atmo Karpo

bulan khianat menunggang kuda disabit cakrawala
sambil memainkan tambur jalanan sepasang angsa melintasi mega
biru bagai tinta tertumpah di atas seprei putih
dan Tuhan telah menyelinap dalam dadu para penjudi dan disuntik vitamin C

PELURU WIJI THUKUL

metafora menerabas jantung memecah nadi
menusuk jantung dari belakang panggung politik Soeharto
terkapar pada sejarah yang membuka kelopak bunga bangsa teraniaya
lawan atau kawan bagai smokel tak ada beda hanya cuaca yang membalut
dalam cerita badut di kancah ulang tahun anak menjangan
lari dan kau kutembak dengan puisi yang telah mati di tangan seorang istri
PISAU PUISI AFRIZAL

kata berujung matanya menetak urat nadi
membuncah jadi hujan tak beraturan dalam kulkas

daging-daging berunding tentang petaka lampu mati dalam sebuah mall
atau supermarket yang penuh pengunjung menguliti kulit masing-masing
menjadikan soto kikil betawi yang berlemak duren monthong

dan Afrisal menyanyikan lagu hujan yang liris di kasir nomer tujuh

JOKO PISAU PINURBO

kau cari kilat tajam tunggumu mengiris tipis angin sejuk dari kutub selatan bulan Juni
saat celana basah dicuci ibu di tepi kali Bekasi berkibaran di langit tak berawan
biru meruang dalam surat cinta maupun undangan penganugerahan kebudayaan yang retak karena bangsa yang memilih berbeda negara

golok yang kau kibas-kibas memotong huruf jadi kehilangan bunyi

CHAIRIL ANWAR PISAU TUMPUL

perlahan urat leher itu kau lewati dengan ujungmu yang pipih tipis tajam mengiris
dan jadilah penyakit kelamin yang membakar sate daging kambing tanpa jenggot

perlahan kau sabet celana dalam tetangga yang basah seakan hulk yang mereda emosi dan kembali menjadi manusia normal yang melanjutkan hidu seribu tahun lagi sambil mencari rahasia raksasa hijau yang dipanggil hulk

PISAU PISANG EMHA AINUN NAJIB

kata berujung kalimat matanya menetak paragraf urat nadi
dalam kenduri semalaman memata-matai perjalanan hari yang luruh

kata yang diterjang dalam radio delta yang memancar setiap saat dengan ludah petuah
tanpa kata sakti maupun lilit penyair yang memontes pagar bambu pak kyai kanjeng

pisang itu ditendang ke gawang lawan dan gooooooooooooong ong ong koong

PISAU PAJAK PAGI LINUS SURYADI

kau cari kilat tajam hari kemarau tunggumu mengiris tipis angin sepanjang hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka mereguk sesisir Juni

tapi telah kau rebahkan regol kraton yogya yang megal-megol
dan langit biru menuntun Pariyem ke selangkangan zaman edan
PISAU KUTUSUKKAN PADA PUISI KORAN

perlahan urat leher itu menjulur sesulur kau lewat dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari jadi terang dan gelap
bencana itu mengendap-endap mencuri saat di sebuah kota mati
hanya batu, pasir gundukan batu dan remah-remah makanan sisa petualang tersesat
saat matahari terbenam dalam saku sang nabi palsu yang menyuarakan suara purna

di halaman muka koran terpampang puisi sekarat terkerat sesayat demi sesayat tiap kata yang tinggal sisa ditinggal mengungsi kata ke kota
dan pemenangnya adalah penyair tua yang suka wanita perjaka untuk dihisap intuisinya

PISAUMU KAUTUSUK DALAM RAHIM KATA

kata tajam berujung duri di matanya menetak pecah urat nadi
merayap di gigir hari yang penuh jelaga
angin merucat diri jadi prahara bersama topan badai merusak susunan kalimat dalam paragrap yang kacau ditinggal mesin ketik untuk mandi dan komputer yang sedang berenang dalam mimpi novelis menyusun batu-batu pijakan

PESAN PISAU PADA SUATU HARI

kau cari kilat tajam pucuk ilalang tunggumu mengiris tipis angin pagi bulan Desember di bumi Paman Agam sejuk dari kutub selatan mengirim bulan Juni dengan lagu musim dingin Seulin yang menatap jendela

kucoba menerjemahkan kata yang merucat jadi nyali dan kekuatan sihir yang meretas mimpi jadi bangkai-bangkai bergerak menuju goa-goa di bukit berbatu membeku dalam mall-mall dan juga toko makanan beku yang memucat tanpa cahaya matahari terpanah satria yang marah

dan ketajaman itu meleleh haripun redup berkerumun huruf tanpa baju memrotes mesin kata yang menelorkan kata baru dan bau

PISAU SEPI PAGI DI PERIGI

perlahan urat leher perawan itu kau lewat dengan ujungmu jari lentik yang pipih tipis tajam mengiris hari makin jelaga

dalam keadaan telanjang kata itu meloncati rel kereta dan menyebrang jembatan besi yang membara

dalam kembara yang tanpa jeda kata itu terus menggauli setiap anak bangsa yang mencoba mendekat pada batas pandang dalam gelap

polisi menangkapi setiap pengendara tanpa kepala memburu kota tanpa peraturan pasti
BENING MATA PISAU DALAM SAKUMU

kata berujung desah konsonan kalimat matanya membuhul malam-malam menetak paragraf jejak kaki melata urat nadi musim yang sembunyi di ketiak mega menyusuri tepi horizon dalam kabut

dalam talam terbaring diam sampai basi sama-sama makanan kucing di antara rak supermarket ramping berputar depan kaca mengikuti irama piano mengambang di antara luka-luka lebam biru karena gempa

cuma satu di padang belantara kera-kera menari selalu memalingkan laras senapan ke arah bunyi berkeretek cukup sudah menguliti kentang dipotong kubus dikukus ditaburi keju dan disangrai

PISAU MENDESAU BEIRINGAN HUJAN TEMARAM

kau cari kilat bayang gedung pencakar langit Jakarta tajam hari kemarau memasang jera tunggumu mengiris jantung jam tipis angin sepanjang celah lembah antara terang tanah hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka membengkak memenuhi lembaran peristiwa mereguk sesisir Juni basah membubuti serangga menuju masa tidur hibernations

aku bungkukkan badan menatap matahari dalam kubangan si angsa di tengah bebek bebek betina centil dia lahir tanpa sengaja pada saat malam pekat tanpa cahaya tegak membaca doa di tengah padang saat terik siang

AQUARIUM PISAUMU ABADI SAPARDI

perlahan urat leher itu berbaris di tepi sungai menjulur sesulur kau lewat pantai berpasir dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari pernikahan musim jadi terang dan gelap apalagi setelah hujan tak bisa meludahi malam makin pualam wajahnya makin kelam sorot matanya kemudian merenangi akuariumnya yang sunyi hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas

TALI TEMALI PUISI LELAKI TANPA ISTRI

bait puisi melingkari jalan nafas menjerat nadi
merayap di gigir hari yang penuh jelaga
hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang
yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas
kata tajam berujung duri di matanya menetak pecah urat nadi
yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah

siapa kita?
(swara yang menggema dalam kata tebing longsor di kota tua itu)
GAS PUISI SAPARDI

rima sajak menyesak ke peparu melumpuhkan nadi kata tajam berujung duri di matanya yang menangis setelah dikutuk akan mati digigit ulat yang sembunyi dalam buah jambu
menetak pecah urat nadi merayap di gigir hari yang penuh jelaga yang memburu keburu-
yang tidak berani pergi berperang memerangi angkara yang menyengsarakan penduduk
buru membunuh kijang bunting yang memutuskan perkara dengan niat menguasai harta

KURSI PUISI LISTRIK SUTARJI

loncatan aliterasi bait puisi di matanya menetak pecah urat nadi tentang kapal-kapal kertas melingkari jalan nafas menjerat nadi merayap di gigir hari yang penuh jelaga hingga tak lagi ada matahari senantiasa bercakap di belakang dan bayang-bayang yang berbisik lirih kata tajam berujung duri yang urutan penziarah menyengat di ujung nadi

PELURU SUTARJI PUISI

metafora kata tajam berujung duri di matanya menerabas bait puisi melingkari jalan nafas di belakang urutan penziarah menjerat nadi yang berbisik lirih merayap di gigir hari yang penuh jelaga hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang tentang kapal-kapal kertas
menetak pecah urat nadi yang senantiasa bercakap jantung memecah nadi

CAMBUK PUISI LINUS SURYADI

bunyi rima yang melengking lawan atau kawan bagai smokel tak ada beda hanya cuaca yang membalut dalam cerita badut di kancah ulang tahun anak menjangan membusuk pada nafas nadi

JERUK SUDIRMAN NIPIS DAN GARAM PUISI EMHA AINUN

menyayat menyusuri kulit dengan rasa asam bersanggatan
melukai langit yang terbuka biru dengan kepala penyair yang terbelah zaman
tampangnya penuh dengan bulu jenggot mirip hutan tropis

dewa bela tentara dalam perkara hak manusia yang terancam jeruk dan apel dalam surga
membanjiri mesin-mesin waktu dengan perasan sari yang menyegarkan langit terbuka koran berita pagi penuh bencana dan manusia alpa pada khalik dan memutuskan untuk mengakhiri hidup yang makin miskin arti dan dunia selebar layar televisi yang buram tanpa warna kecuali penyergapan perampokan pengeboman dan pesta bunuh diri dalam kecelakaan perawat maupun kapal laut kereta api dan pabrik-pabrik limbah sangat beracun pada sambaran kilat seteguk tegak sajak ditenggak keperkasaan sajak deviasi asa melesat di cakrawala saat pada bayang-bayang tegak sajak menggurat leher lawan atau kawan bagai smokel tak ada beda hanya cuaca yang membalut dalam cerita badut di kancah ulang tahun anak menjangan denawa berteriak: puisi mati!
(Mira Sato menulis dewa-dewa telah mati dengan akrab di puisi Subagio Sastrowardoyo)
ARWAN GUILLOTINE TUTI ARTHA

sambaran kilat pada bayang-bayang tegak sajak
membicarakan makan siang dan juga pesta di istana tentang perjanjian perbatasan
ada temaram senja dalam guci bergema pada liris pepohonan di pinggang Merapi
siapa berjalan menyisir pantai memunguti jejak Sapardi yang berjalan ke barat pagi-pagi?

PAGELARAN RACUN SUMINTA PUISI PALAGAN

seteguk tegak sajak ditenggak saat
mabuk pualam dalam paha ayam Kentucky dan ayam sayat Mac Donalds
kemudian merunduk dalam kuah bakmi Jawa yang becek dan berlemak berbaring dalam tumpukan saus kecap dan potongan sayur bayur

seteguk tenggak rencana peperangan dengan dewa langit yang mandi panah angin beterjunan lewat mega-mega dan hilang dalam sekam yang dibakar petani pada musim panen yang gagal

SASTRA HARAKIRI HERI LATIEF PEMBEBASAN

keperkasaan sajak deviasi asa melesat di cakrawala
menjadi raksasa Kublai Khan yang pendek gempal jenderal perang haus perang dan perempuan

pada pasar bebas pajak tetapi preman kampret memburu kutu kuret mencabik senja jadi jelaga dan dikenyit para penguasa lalim dan memenjara angan penyair dalam bejana internet yang bersemrawutan sulur-sulur kreasi yang liar

keperkasaanmu menjadikan dirimu sebuah lokomotif yang bergerak di Siberia tanpa penumpang

TIANG GANTUNGAN LELAKI PUISI

bandul jam bergoyang menakik puisi ide
memburamkan cakrawala dengan barisan huruf yang memberontak memberi makna

dasar penyair bodoh masih ngelesot mencari kebermaknaan kata yang diterjang dan menerjang sesamanya tali temali itu bagai layar kapal yang luruh ditinggal nelayan demonstrasi ke kota memburu racun air raksa sebuah pabrik swasta

KARET BUANG ASEP HUTAN KAMBOJA

Pandawa berlima merayapi hutan Dandaka: demokrasi!
Pandawa berlima menyusupi belukar menyembunyikan diri: pemilu!
Pandawa berlima menuju negeri Wiratha mengabdi: dosen yang patuh!

RAMPAN PANAH LAYUN SATRIA KALIMANTAN

menggurat leher lawan atau kawan bagai smokel tak ada beda hanya cuaca yang membalut dalam cerita badut di kancah ulang tahun anak menjangan denawa berteriak: puisi mati!

mengurat leher keluarga yang tak ada beda antara sapi, kebo, badak dan babi yang melenguh malam-malam meraih susu perawan yang bermimpi menjadi putri: puisi salon!

menggurat urat kemaluan yang makin terbuka tak terlapisi lagi moral dasar yang tak beda dengan hutan, pohon, tanaman bunga serta air hujan dan cucian rumah tangga: puisi pribumi!

LANDU BENCANA PUISI BALI UMBU

mencengkam cakrawala menggolak lautan merendam daratan mimpi penyair
melumpuri benda ruang dengan semua fatamorgana dan membiarkan mereka menahan ingin

mencengkam horizon yang tak berwatas dengan gapaian rambut panjang berkutu dan berwarna kelabu sambil mengepalkan tangan menjaring angin yang tiba-tiba lindap di ketiak pepohonan menyusupkan bisik berahi

mencengkam dada langit yang biru terbuka menyusup di kerimbunan rambut halus di dahi berkerut menghasut penyair muda untuk menumpuk dan membongkar laci yang berisi puisi kerinduan

MATINYA SANG JAZZ BENCANA PARFUM

bayi itu bernama Mira Sato!
merayapi dinding pagar kota membawa pedang sakti dari gunung Kitab Omong Kosong di wilayah Negeri Senja saat dipotong senja dimasukkan dalam surat pribadi yang telah diterima Sapardi dengan baik: senja itu lumer seperti es cream buatan rumah yang legit

LAUTAN RETAK KAPAL JILBAB DI SLILIT SANG DARMANTO

guci itu membisikkan rahasia Goenawan Muhammad
jangan kau simpan dalam kulkas yang tak tercatat suhunya
berikan pada raja lalim yang mati menelan buah jambu air yang bersemayam ulat
dan Sapardi dan Mira Sato mencatatnya dalam puisi telor

ketika Rahwana berniat main golf kepala Cianjur dan rojo lele meniup sangkala Kyai geng Suryamentaraman tentang hakikat mati bunuh diri seperti puisi yang mencoba muncul di koran lokal tanpa pembaca terbuang di tong sampah

siapa yang bermain gundu di cakrawala lemari es saat pongah hujan bulan Juni rintik?
HARAKIRI HUJAN BADAI TROPIS PUISI MATI

selingkuhan bumi mengeluh senyap Sapardi Djoko Damono
mencatat liris dalam tiang listrik ludah hujan dan telaga
dalam akuarium mata pisau itu berkilat mencari lehermu yang wangi
masih kucoba mencintaimu dengan sederhana tetapi musim sepi menepis angin
saat ulat itu mulai merayap masuk dalam jambu air yang di petik Goenawan Mohamad

ANGIN TERGANTUNG PADA ABDUL HADI WIJI MUTAHARI

meniup ubun-ubun nasib bergelora Abdul Hadi WM
dan angin tergantung di pertanyaan Syah Siti Jenar yang mengaku beraku satu yang aku ini semuanya
marilah masuk ke dalam telingaku dan kau akan mendengar nafasmu menuntun ke labirin kota yang telanjang dengan langit senja abadi milik petualang gurun
lagu itu mendayu sampai jauh seperti sauh yang jatuh dalam laut dalam: hilang gema!

PUZZLE IKRA NEGARA DALAM TOPENG KAYU

Afrizal Malna ke mana binatang di dalam kulkas besi itu kau jagal?
beritakan pada mereka kau hisap es yang menggumpal dalam arsitektur hujan dan kepala anjing yang masuk di sela gigi-gigi
Topeng yang kau pakai itu menutupi filsafat cakrawala yang rontok saat dingin drop tiba-tiba
kulkas itu berbaring di dalam dada perempuan yang kemarin kau tikam

RICKI DARI CIBINONG DI MANA BETTY CIAWI

dokter segera bunuh Rendra si raja singa
nafsu yang berbaring dalam lengannya menggeliat bagai ulat dalam jambu air
saat burung belibis melintas cakrawala anak-anak jin memainkan tambur jalanan dan sepatu itu telah berubah jadi sandal jepit yang belah

PESAN PUISI SEBELUM MATI KEPADA PENYAIRNYA SAAT AKHIR PIDATO PUISI PENGUBURAN PENYAIR

Ya, jangan kau bikin ini untuk yang kedua kalinya!
karena kata dan huruf tak seia-sekata
manapun berlalu menuju lubang semut
mewartakan ada hujan yang tersekap di dedaunan
ada burung camar yang mengusap mega menjadi sarang laba-laba
Ya, inilah saatnya aku menghadapmu dalam puisi yang tanpa huruf tanpa kata hanya tanda baca!

jalan lurus itu merajut lelana putra jejaka aking terbaring dalam keranda putih
semoga arwah ini mengetahui jalan pulang ke bumi: sialan!
puisi bunuh diri

PISAU (1)

kata berujung matanya menetak urat nadi

Seperti kata yang meloncat-loncat di hutan belantara pagi-pagi mencandai embun, kabut, angin dan daun kering. Seperti semut melata beriringan menuju liang dengan sabar membawa apapun yang dapat dimakan oleh ratu yang tak mampu bergerak kegemukan dan hanya menelur sepanjang masa. Seperti katak yang melompat ke dalam kolam, berenang memburu ikan kecil atau anak cucu serangga yang kebetulan lengah tak terjaga dan ditelan sebagai putaran lingkaran hidup.

Hidup berjalan seperti matahari yang meniti langit kemudian lindap di balik bukit meninggalkan warna senjakala yang merah tanpa mendung. Kakikaki beribu berjuta manusia setia dengan irama yang berbeda mengelilingi batu kotak hitam. Mulutnya berkemik memuji kebesaran ilahi. Ribuan burung dan serangga beterbangan mengitari lampu dan kemudian serangga hangus terbakar mati atau disambar merpati yang juga mengitari lampu-lampu kota yang jangkung.

PISAU (2)

kau cari kilat tajam tunggumu mengiris tipis angin sejuk dari kutub selatan bulan Juni

Seperti langit yang terbuka menelan segala amarah dan menikam segala tikam dan menyimpan semua misteri suami istri yang bertengkar merebutkan harta dan keturunan yang akan diceraikan setelah masa idah berhenti. Seperti perjalanan bintang yang mengikuti garis edar langit. Bintang yang melesat menjadi meteor. Bintang yang pecah menjadi benda langit. Bintang yang membengkak menjadi satelit. Dalam hitungan detik satelit-satelit terikat pada edar gravitasi setiap planet yang berputar bergasing

PISAU (3)

perlahan urat leher itu kau lewati dengan ujungmu yang pipih tipis tajam mengiris

PISAU (4)

kata berujung kalimat matanya menetak paragraf urat nadi

PISAU (5)

kau cari kilat tajam hari kemarau tunggumu mengiris tipis angin sepanjang hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka mereguk sesisir Juni
penyair itu menorehkan puisi dengan darah merahnya pada dinding rumah membelah cakrawala yang merekah saat matahari tergugah

PISAU (6)

perlahan urat leher itu menjulur sesulur kau lewati dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari jadi terang dan gelap

PISAU (7)

kata tajam berujung duri di matanya menetak pecah urat nadi

PISAU (8)

kau cari kilat tajam pucuk ilalang tunggumu mengiris tipis angin pagi bulan Desember di bumi Paman Sam sejuk dari kutub selatan mengirim bulan Juni dengan lagu musim dingin Senlin yang menatap jendela

PISAU (9)

perlahan urat leher perawan itu kau lewati dengan ujungmu jari lentik yang pipih tipis tajam mengiris hari makin jelaga

PISAU (10)

kata berujung desah konsonan kalimat matanya membuhul malam-malam menetak paragraf jejak kaki melata urat nadi musim yang sembunyi di ketiak mega menyusuri tepi horizon dalam kabut

PISAU (11)

kau cari kilat bayang gedung pencakar langit Jakarta tajam hari kemarau memasang jera tunggumu mengiris jantung jam tipis angin sepanjang celah lembah antara terang tanah hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka membengkak memenuhi lembaran peristiwa mereguk sesisir Juni basah membubuti serangga menuju masa tidur hibernation

PISAU (12)

perlahan urat leher itu berbaris di tepi sungai menjulur sesulur kau lewat pantai berpasir dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari pernikahan musim jadi terang dan gelap

TALI

bait puisi melingkari jalan nafas menjerat nadi

GAS

rima sajak menyesak ke peparu melumpuhkan nadi
KURSI LISTRIK

loncatan aliterasi menyengat di ujung nadi

PELURU

metafora menerabas jantung memecah nadi

CAMBUK

bunyi rima yang melengking membusuk pada nafas nadi

JERUK NIPIS DAN GARAM

menyayat menyusuri kulit dengan rasa asam bersangatan

GUILLOTINE

sambaran kilat pada baying-bayang tegak sajak

RACUN

seteguk tegak sajak ditenggak saat

HARAKIRI

keperkasaan sajak deviasi asa melesat di cakrawala

TIANG GANTUNGAN

bandul jam bergoyang menakik puisi ide

BUANG HUTAN

Pandawa berlima merayapi hutan Dandaka: demokrasi!

PANAH SATRIA

menggurat leher denawa berteriak: puisi mati!

BENCANA

mencengkram cakrawala menggolak lautan merendam daratan mimpi penyair
menggolak amarah keterbatasan pada alibi peristiwa dini hari
dan mimpi itu jadi catatan prasasti diri

PIDATO PENYAJAK

I
lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan mencintaimu dengan sederhana
meski kau tak pernah mencintaiku
tapi tak mengapa, sebab antara sengaja
dan tidak sengaja mencintai sama sekali
tidak ada pembatasnya. Kalau kau
bertemu denganNya, di padang menari benda langit berpendar berjalan penari gelombang pasang berkaca pada sisiran angin darat dalam berkaca pada sisiran angin tak berbatas gelombang pasang berkaca pada sisiran angin darat dalam kondisi berkaca pada sisiran anginkan lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan hanya ingin …
II
seusai mengantar jenazahmu
pohon demi pohon masih menundukkan kepala
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi …
III
waktu lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan berjalan ke barat pada malam hari, gelap
mengikuti di belakang, lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan tak menemukan bayang-bayang
lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan dan matahari tidak bertengkar tentang siapa
di antara kami yang telah menyembunyikan bayang-bayang
IV
potretmu tentu ada dalam padang belantara kera-kera menari ini, bersama
eliot, goenawan mohamad, chairil anwar,
sutardji calzoum bachri, taufiq ismail, amir hamzah
hamzah fansuri, rendra, wiji thukul, ronggowarsito, mpu kanwa …

MATI

bayi itu bernama Mira Sato!

RETAK

guci itu membisikan rahasia Goenawan Muhammad

PISAU PUISI

Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan lata itu terus berjalan menuju entah. Memburu sesuatu yang tak jelas tapi selalu diburu-buru hingga cakrawala yang tak teraih oleh akalnya yang lata. Melata dan mematikan yang berbaju badai salju menuju arah selatan menuju cakrawala jauh. Cakrawala mimpi!
Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan yang gagal mematikan baju badai salju menuju arah selatan menjadi penghuni bumi yang lata merayapi jalanan memburu sampah mencari sisa-sisa makanan yang dibuang para kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan yang berhasil sukses . Sisa makanan itu diraup dan dikunyah cepat-cepat dengan sesekali menengok kiri kanan melihat kalau-kalau ada kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan lawan yang juga akan menyerbu sampah sisa-sisa makanan kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan sukses berhasil dalam kehidupan dan kariernya. Makanan itu tertelan dan segera memberi kekuatan untuk segera bergerak menjauhi tempat pembuangan sisa makanan. Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan lata itu merayap lagi makin jauh meneruskan perjalanan yang tak dipahami maupun disadari apalagi direncanakan.
Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan itu berkumpul pada sebuah pertunjukkan ataupun dalam rumah ibadah seusainya bubar bertebaran memburu rezeki atau mata pencaharian untuk bertahan hari itu seperti halnya burung pemakan biji-bijian yang berhamburan ke segala penjuru angin saat matahari bersinar dan pulang ke sarang dengan tembolok yang penuh saat senja jatuh di ufuk barat. Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan melata bagai ular dan serangga tanah mengais sampah dengan tangannya yang cacat dan dekil, kadang menadah belas pada penziarah, pejalan, ataupun petualang kebetulan melintas setelah berhari-hari mengukur jalanan.
Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan itu berjalan beriringan layaknya semut-semut yang berperang saling mendorong dan membunuh dengan racun bisa. Bagai kawanan belalang yang menutup langit memburu padang rumput yang menawarkan kehijauan yang kadang merupakan hamparan tanaman padi atau gandum yang sedang bunting menyiapkan bernas-bernas yang diganyang oleh kelompok belalang dengan ganas.
Hidup berjalan seperti matahari yang meniti langit kemudian lindap di balik bukit meninggalkan warna senjakala yang merah tanpa mendung. Kakikaki beribu berjuta kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan setia dengan irama yang berbeda mengelilingi batu kotak hitam. Mulutnya berkemik memuji kebesaran ilahi. Ribuan burung dan serangga beterbangan mengitari lampu dan kemudian serangga hangus terbakar mati atau disambar merpati yang juga mengitari lampu-lampu kota yang jangkung.
Seperti kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan yang memburu kematian yang meloncat-loncat di hutan belantara pagi-pagi mencandai embun, kabut, angin dan daun kering. Seperti semut melata beriringan menuju liang dengan sabar membawa apapun yang dapat dimakan oleh ratu yang tak mampu bergerak kegemukan dan hanya menelur sepanjang masa. Seperti kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan yang memburu kematian yang melompat ke dalam kolam, berenang memburu ikan kecil atau anak cucu serangga yang kebetulan lengah tak terjaga dan ditelan sebagai putaran lingkaran hidup.
HUJAN

selingkuhan bumi mengeluh senyap Sapardi Djoko Damono

ANGIN

meniup ubun-ubun nasib bergelora Abdul Hadi WM

PUZZLE

Afrizal Malna ke mana binatang di dalam kulkas besi itu kau jagal?

RICKI DARI CIBINONG DI MANA BETTY CIAWI

dokter segera bunuh Rendra si raja singa

PESAN SEBELUM MATI

Ya, jangan kau bikin ini untuk yang kedua kalinya

PIDATO PENGUBURAN

semoga arwah ini mengetahui jalan pulang ke bumi: sialan!

“MEKKAH – MEDINAH 25 PERAK”

BERITA

sudah empat ratus lima puluh jamaah penziarah meninggal
dan tubuhku diangkut dalam keranda berlari menuju Hijir Ismail
dalam waktu sholat mereka menyalatkan dalam gemuruh kaki penziarah dalam tawaf

BANDARA JEDDAH

berbaris meminta ijin
kesabaran menuntut giliran
kemudian menunggu perjalanan dengan bus
menuju Al Mukarommah

JAM 12 SIANG 23 DESEMBER 2006

pengembara itu menciut melihat geriapan cahaya yang menusuk bumi
perjalanan itu dimulai dengan air mata dan kesunyian
ya Allah hambamu datang
hambamu menyerahkan dosa-dosanya
: mohon diampuni
23 DESEMBER 2006 JAM 19:00

dalam rumahMu sejuk
mengelepar sukmaku
memohon ampunan
meminta rizki
juga panjang umur
mohon hidayahmu
agar hidup jadi qona’ah
agar hidup setelah mati di sisi nabiMu

JAM 10 PAGI 24 DESEMBER 2006

Bekasi kota di belakang berlari menuju matahari
melintasi hujan kemarau dan gelombang pasang purbani
ada gapai lepas dipatuk camar yang selalu bercanda dengan gelombang

24 DESEMBER 2006 JAM 16:00

(di dalam pesawat Saudi Arabian Airlanes)

guncangan cuaca menandai melintasi budaya
melintasi keimanan
melintasi kepekatan niat tunggal
padamu aku jejaki sejarahmu ya nabi!

MOAISEM 30 DESEMBER 2006

kami berbaring menunggu saat berangkat
siap membatu memburu jumarat
atas nama batu
atas nama bukit
atas nama kabut
siang tanpa angin

SENJA JATUH (Mina 07)

senja jatuh haripun luruh
segala keluh rapuh
dalam dekap gemuruh: Tahun baru!

TAWAF (!)

beriak air bergelung gulung gemulung menuju pusar
berpusingan bergasing menuju mata ka’bah hitam
dalam kemik-kemik: Astagfirullah ..................
TAWAF (@)

kuseret sukmaku pada kisaran dengung “lebah” dzikurllah
: basuhlah dosa kami ya Allah!

TAWAF (#)

aku rubuh di pintu ka’bah terinjak kaki hitam coklat tanpa warna nafaslu satu-satu letih: subhanallah! Kau panggil diriku pada saat yang Kau pilih! (kuburu marahmu!)
Mekkah 07

TAWAF ($)

kuburu jejak kabut
hingga ke batu hitam dalam ceruk
(kudengar sayup kau terbatuk-batuk)
Mekkah 07

TAWAF (%)

onta itu berenda berdandan mengeluh perlahan
menyambut tetamu
kakiku guyuh meraba Rukun Yamani dalam rinai gerimis
Astagfirullah

tak lepas dari bibir yang makin kering
sembari dikelilingi batu hitam yang gagah
terpusat pada titik tengah rumahmu
Mekkah 2007

TAWAF (^)

kupeluk kesah purba
menetes darah dari pori
aku rubuh lagi di muka pintu ka’bah

dalam mata sembab
Mekkah 2007

TAWAF
bagi teman seperjalanan di Mekkah
kuburu jejak nabi sampai di batu hitam dalam ceruk
:Hajar Aswad
tak juga kusapa batukmu sekalipun
Mekkah 2007

TAWAF WADA

air mata mengucur dari Hijir Ismail mengingat bayi itu
menendang bukit berbatu yang memuncratkan air Zam Zam

penuh sungguh pepat hati suntuk
menelusuri jejak Hajar
tujuh kali berlari dari Safa ke Marwa

batu hitam tetap diam gagah dan perkasa
aku merunduk hingga batas lantai
luruh dalam haribaan rumahmu
kasihMu mengisahkan ayat-ayat mula dalam kitab suci itu

batu hitam menyelip di sudut
meruak merangsang tanya
kecup dan cium hormat senantiasa
membawa mitos batu keramat yang disalahtafsirkan

pusaran manusia berbaju mayat menyusut pada
batu hitam lekam dan meledak dalam tangis
: aku rindu akan datang lagi
aku sunyi dalam subuh risik dengan langkah penziarah
atas dzikir dedaunan
(22-1-07)

SELAMAT TINGGAL MINA

selamat tinggal bukit Aqabah
selamat pagi haji
segenap bukit dan batu bersaksi atas hadirmu
Mina 07

SA’I (1)

gunung gemunung berbatu-batu
terik mentari merengek di bibir bayi nangis
menendang-nendang pasir kehausan

SA’I (2)

bukit berbatu licin dipanjat menuju Marwah
kembali ke Safa
mata air itu muncrat di kaki bayi
: zam zam zam zam zam

SA’I (3)

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
kuburu jejakmu
tak juga cintamu
melumerkan amarah purba
tentang kesetiaan
tentang kejujuran
tentang pasrahku

SA’I (4)

ada penjelajah penziarah 62 tersesat
petualang itu meluncur lewat pesawat antariksa
membumi menuju pusat

SA’I (5)

mohon ampun mohon petunjukMu
di mana mata air cinta itu?

SA’I (6)

cengkeraman dingin meremas nyali meluruhkan pandangan
pada bukit berbatu yang dijejaki para napak tilas

tak terpahami lagi sengatan matahari terik
karena Mekkah direngkuh awan hitam dan rinai gerimis
(suara sesak siapa menangis dalam tawaf dan sa’i itu?)

SA’I (6)

sampai putaran ke tujuh rambut itu terpangkas tiga kali
jejak itu lurus menuju restaurant dan restroom

SA’I (7)

SMS itu membayangi keterpurukan diri
(saat usai mandi pagi)
kembali keterpurukan memutus komunikasi kasih

SA’I (8)

(Kemal) menikah dalam pesta keriuhan pulau Bali
aku sendiri dalam hening

HUJAN JANUARI

kata Sapardi biasa datang bulan Juni
setelah api-api menggila terpadamkan

kata Rendra gerimis bagai mainan anak-anak
yang meluruhkan cinta sejati

kata Sutarji hujan hanya tik-tok arloji
selainnya huruf alif!

senja menyatu dalam sujud diguyur tangis langit
membersihkan dosa penziarah
Mekkah itu dalam barokah

(hujan itu makin menjarum menusuki diri)

HUJAN PAGI-PAGI

jemuran kemarin basah lagi
air mata meleleh menatap batu hitammu

TURKISH RESTAURANT

seingatku hanya Amerika serikat yang membakar jantung, nyali
dan potongan kubus daging

seingatku hanya Indonesia Bagian Barat waktu menyalip pada jarum detik
pada matahari dan hujan yang salah hadir

seingatku hanya Mekkah kota padang pasir, onta, agama untuk umat
(dan kiriman hujan itu menjadi berkah sendiri)

seingatku hari ini perak retak terbakar pada janji lelaki
yang tak seperti matahari terbit
tapi musim yang senantiasa tak pasti untuk diduga

seingatku perak retak itu ..........

JENDELA JIBRIL

di belahan timur jendela masjid mungil warna hijau
nabi itu setia menunggu : firman Mu hingga kini
sampai saat ini ketika berjuta makhluk bumi bertasbih
jasad nabi menunggu dengan sabar
di payung kubah hijau
MISFALAH DI SIMPANG JALAN

ada lampu lalu lintas yang setia
ada kotak jaga yang berlubang tempat polisi
lelampuan jalan yang jangkung meludahi wajah penziarah pasrah
lapangan taman kota kosong rerumputan kering
jejak para pedagang kaki lima hitam pekat
burung merpati senantiasa bercumbu untuk dirinya
aku menatap sepi purbaku
2007

LAUT MERAH

senja semburat atas air laut
tersimpan rapi di sebuah mall
melukisi masa-masa berjalan di Masjidil Rahma
terapung dalam senja
2007

MAKAN PAGI I

sepotong roti
teh manis
dalam fajar pagi seusai sholat subuh

MAKAN PAGI II

dulu selalu kopi dan roti
sekarang dzikir dan ampunan
yang kau lantunkan dalam derai air mata
(dasar manusia congkak!)

MAKAN PAGI III

sepotong roti berlumur creamer dan sejumput rasa syukur
Mekkah 2007

ONTA 1

tampang bodohmu menjebak bayang atas badai gurun

ONTA 2

naiklah ke punggungku
kau kan lihat nabi menuju gua di bukit itu!

ONTA 3

manusia itu telah mendandaniku dengan bunga rampai plastik
penziarah itu tersedak realnya sejumput demi sejumput
seperti dosa yang makin tipis setelah terampuni!
2007

SHOLAT DI MASJID

setiap saat panggilanmu menyeretku pada rukuk sebatas ubin
tapi umatMu bagai burung berkicau membatukkan dzikirnya
2007

MEKKAH – MEDINAH 2007 (1)

saat nabi menghilang dalam perut gua
laba-laba menutup dengan sarangnya
dan orang Quraisy bersilang pendapat

saat bis melaju penyair itu teridur
seusai menyantap makan siang
menyisa sekerat daging, sesendok nasi
serta remah-remah kerupuk

padang pasir, bukit berbatu diam menyimpan pesona
rahasia ilahi terbawa angin: telah kusempurnakan agama itu
untuk umatku sampai akhir zaman

MEKKAH - MEDINAH 2007 (2)

nabi bergegas di punggung onta menerobos gua Hira
yang segera terentang sarang laba-laba

HOTEL WASEL MEDINAH

kenikmatan yang kau limpahkan memalaskan ibadahmu
wahai penziarah yang congkak
2007

MEDINAH 1

di atas bukit kau megah terpagari beton-beton berkilauan
seperti Masjidil Haram kau teriakkan nama
: hai Ibrahim mana kapak besar cucu-cucumu?
hai Ibrahim mana kegagahan cucu-cucumu?

MEDINAH 2

nabi memohon padanya
agar kota ini mendapat barokah
tapi anak cucu Ibrahim menciptakan berhala beton!

MEDINAH 3

menunggu saat sholat
menunggu saat ajal

MEDINAH 4

hanya dua langkah tanah harammu berlimpah pahala
tapi hati yang congkak itu masih saja bergelung
di balik bed cover hijau tanpa kemikan doa
maupun dzikir syukur dan tasbih
selayaknya binatang dan tumbuhan yang senantiasa bertasbih padaMu
2007

MATAHARI MEDINAH 1

jam tepat tujuh: assamulaikun wal samsiiyah
langitku tenggorokanku yang tercacah virus
aku mohon syafaatmu, ya Allah melalui matahariMu!
(rohku meringkik lirih di balik bed cover)

MATAHARI MEDINAH 2

pada hari ke lima Madinah resah
gelombang udara dingin menepi
tampak cerah tanpa mega
membakar semangat belanja para penziarah

pada matahari terik ke lima
gerimis dalam dekap isak tangis merekah jadi bunga melati
bertebaran lewat olesan minyak wangi India

jangan tanya aroma Arab, onta dan keringat Afrika
hanya semilir wangi bakaran roti dan daging barbeque

PAGI MEDINAH

kau lupa bangunkan diriku
untuk mendirikan sholat tahajud dan tasbih

SIANG MEDINAH

hawa pagi masih menerpaku beku
dibingkai jendela hotel
sedang kopi atau teh hangat makin lepas teraih
apalagi roti dan nasi
(melintas Arafah dalam 30 jam tanpa kunyahan kudapan di mulut)

SORE MEDINAH

tak ada pengembara yang bercengkerama dengan matahari
mereka menyisir karpet hijau
menuju kubah tempat nabi beristirahat

1982 – 2007

perjalanan yang makin sarat dengan pertikaian
perak itu terus akan makin bersinar
ya, Allah inilah hadiahMu terbesar!
2007

PADANG ONTA

senja di balik bukit pasir
biri-biri, onta dan angin sepoi-sepoi
serta dingin yang menghunjam tulang
2007

PEMANDANGAN PAGI HARI DARI JENDELA HOTEL

selalu berselancar di atas es beku
para penziarah merayapi halaman Masjidil Nabawi

MEDITASI MEDINAH

sendiri dalam kamar hotel
sendiri melintasi jendela hotel
cahaya matahari
udara beku
kuburan Baqi
kubah hijau makam Nabi
sendiri dalam kamar hotel pagi-pagi
menonton acara televisi sendiri
(Di mana kau?)
2007

MEDITASI PAGI

secangkir teh poci plus creamer
sebongkah roti dan selai kacang
sejumput korma ajwa
: Alhamdulillah!

MEMANDANG PAGI

aku ingat sajakmu
senantiasa bicara pagi-pagi
tentang elegi yang tak henti-henti

MENEPI

sendiri di kota ini
tak ada risik gerimis
tak ada desir pasir

sendiri setelah retak
perahu perak pecah berderak
pada sandaran tak bertali

pelaut sunyi itu menyanyi
tentang pulau-pulau tak berhuni
tentang burung-burung yang memburu ikan
tentang nelayan-nelayan yang tabah
tentang badai yang selalu dihadangnya

pantai itu pecah oleh ombak
dan para pencari kerang memburuku sampai ke liang-liang

aku menepi di gisik ini
: sendiri!
2007

PULANG
di atas pesawat Saudi Airlines

ada yang kembali tak datang-datang
ada yang pergi tak pulang-pulang
ada yang terbang entah memburu apa
ada yang tiada ke alam baka
ada yang berbicara tanpa swara tanpa rupa tanpa makna
: di angkasa raya!
31 Jan 07
MENJAWAB PERTANYAAN
mengenang saat-saat bersama almarhum Erie Madya M.

tentu saja harus pasti
sebab tak ada yang mau
teka-teki seperti mati

tentu saja harus jelas
karena kejelasan membuka
tabir kegelapan seperti
kematian yang tiba-tiba

tentu saja harus perlahan
kecepatan akan mengaburkan
pemandangan dan pemilahan
tak lagi dapat di terka
seperti saat sholat
semua hanya yakin
31 Jan 07

MENYESAL (31 Jan 07)
juga bagi almarhum

tak lagi dapat kugenggam tanganmu
kutatap wajahmu
apalagi kukecup bibirmu

tak lagi dapat kueja
setiap huruf dan kata
karena ……

tak lagi dapat di tata

(belum juga selesai kujelaskan semuanya
misteri itu menyekap bayang dan mimpiku)

SUBUH KELU
catatan kecil bagi almarhum Erie Madya M
gerimis reda
kau berjalan menyongsong kabut
Madinah 2007

YOGYAKARTA

sebagian dari jiwaku yang tergadaikan
Madinah 2007
BOGOR

antara roh dan ragaku yang terbelah
Madinah 2007

JAKARTA
jiwaku yang terkapar di jalanan
Madinah 2007

SUKABUMI

sukmaku mati terlindas mimpi
Madinah 2007

(ADA) PENYAIR MATI DI KA’BAH

huruf runcing menancap tepat di urat nadi
katapun melibas dengan hentakan kaki-kaki
nafas lepas saat kalimat itu diakhiri dengan tanda baca
Mekkah 2007

MENUJU PERANG BADR

bus melaju pada kecepatan tetap
seakan onta tentra Islam menghirup ruap gurun
laut pasir membacok mimpi kabilah kalah perang
: pesan puasamu ya nabi
Mekkah 2007

MASJIDIL RAHMAH LAUR MERAH

wadagmu mengapung mengangkat niat binti Hawa
meluruhkan dosa-dosa pengunjung melumuri lantai kering restroom
Jeddah 2007

PAGI BIRU MASJIDIL HARAM 14-1-07

saat sujud tasbih rakaat ke tiga
melintas sembilan keranda
mengakhiri derita tigapuluh jam Arafah
Mekkah 2007

BULAN MENITI BUKIT

bulan separo semangka membatu di gigir bukit: Selamat makan pagi penyair!
Moaisem, Mina 31-12-2006
SEUSAI HUJAN DI MEKKAH

setelah hujan reda menendang perut menuntut isi
pagi kelabu seperti pulang ke Bogor rinai gerimis
sisakan comberan dengan selaksa aroma ‘Arab’

awan hitam merengkuh Mekkah
jejarum hujan siap menghunus
seperti kemarin saat magrib rakaat ke tiga
rohku rubuh di Maqam Ibrahim
jarum hujan menyalib raga ringkih
Mekkah 2007

ARAFAH

Gunawan Muhammad mencatat dingin
menuliskan Sarajevo menggetarkan bumi
meratakan bumi rencong
Putu Wijaya berkeyakinan keragaman sebagai musuh
mengentuti ruang dan waktu pada tengah malam
saat bulan melenggang ke cakrawala
dalam wajah setengah lingkaran bola

kau mengerang menepis beku
dalam warnaku biru
Arafah, 28-12-2007

2007 DI MOAISEM

matahari bukit berbatu melempar jumarat aqabah dalam dingin njekut, GM?

KEMBALI ARAFAH SETELAH WUKUF

tanpa tenda
tanpa pedagang
tanpa penziarah
hanya Jabal Rahmah tempatmu bertemu
wahai makhluk mulia pertama ciptaanMu
setelah melakukan nista memakan buah larangan

SUBUH I

kususuri jalan sunyi kumuh dan berdebu
kuketuk segala pintu
kukira di Mekkah semua pintu menuju rumahmu

SUBUH II

pagi buta menyusuri jejak hitam dalam bercak-bercak pasir
batu, sampah plastik
kukais rotiku yang jatuh kemarin di antara tumpukan pedagang kaki lima
rohku meleleh dalam kubang sayur Nigeria
tergeletak sayu pada kue onde-onde dan bala-bala coklat tua

SAKIT

pilek dan batuk tak mampu menusuk onta
tapi penziarah itu terkulai rubuh waktu subuh
tertusuk flu onta!

SAKIT MEREDA

flu onta itu meregang kalah tertingkap
limbung saat subuh menjelang titik jenuh
ridhoMu ya, Allah yang senantiasa kujaring

PERAK (I)

sujudku rubuh di subuh waktu
ragaku luruh dalam dekap masjidMu
rencanaku menggumpal dalam kemik doa
pikiranku menyatu dalam sujud syukur
perasaanku melayang menyusuri lekuk-lekuk ornamen rumahmu!

PERAK (II)

jejak itu meninggalkan luka
bagai usai perang Badar menghadapi perang shaum

PERAK (III)

jejak itu meninggalkan asap
mengoyak di dada
mencari penjelasan dalam bilur-bilur ayat Ibrahim
yang menyimpan misteri berhala-berhala purba
kini menjelma gedung beton menjulang dan logo dagang
menangkup batu hitammu

BUS-BUS MENUNGGU DI MASJIDIL HARAM

dalam zikir dalam sepi dalam hati
perak retak: nyali lelaki
MAKTAB 60

AC, kipas angin, talang air dan jejeran ranjang
selalu menjerit kelelahan tertimpa dosa-dosa penziarah

pintu kusam, lift mati berderak
tangga dekil dan lantai bergincu debu
sampah para penziarah lalai akan pesan Nabinya

aku tergeletak di kotak sampah diludahi dan diinjak beribu
berjuta
berlaksa penziarah yang tak beda dengan penjarah
2007

ZIARAH 2005

TEMPAT ZIARAH RETRO CONCERT 1/2 Abad 2005

bagi Sapto Raharjo

kukuburkan sejumlah puisi cinta
yang terbuhul dari perselingkuhan
hasil dari hubungan gelap yang bertahun-tahun
melahirkan antologi penguburan setelah dimandikan
dikafankan dan didoakan penziarah

kukuburkan segala kesan perjalanan
pada kuburan sepi di tepi kali
pada keingian yang makin jauh tergapai
pada kebohongan kita senantiasa
pada sebuah kenisbian

bukan 50 tetapi 30 tahun
perjalanan musikmu merayapi jalur tanpa penonton
iramamu tanpa partitur normal

30 tahun berjalan
kauramu segala bunyi
kau susun segala alat musik
dan mendayu sampai dunia Eropa

dari kaki Merapi sebelum masehi
sampai bentangan musim salju di Paris Anno Domini

undangan itu tergeletak
memukul demam berdarah
menusuk flu tahun Ayam
merejam arthritis tahunan
menyalip pasti diabetes tahap ke dua

undangan itu membawa perjalanan
30 tahun silam
Concerto in D Mayor
in Concert in the Universe
bogor 14. 2. 05

ZIARAH ZAHRAH 2005

berderet pada satu nada dasar: dosa!

berdiri tegak memandang: prasasti!

Berbaring damai pada pusara: catatan kaki!

ROMBONGAN PENZIARAH 2005

berduyun-duyun manusia bertopi salju
menuju makamku yang berlumut saat kududuk di ujung nisan
ada yang menggumamkan doa lirih sebagian diam menelusuri jejak pribadi
ada yang tenggelam dalam pencari batas doa dan sedakan nafas

PENZIARAH 2005

saat Jibril datang menjambret milik ilahi
yang dipinjamkan tanpa uang sewa kecuali tagwa

berduyun-duyun manusia berkerudung hujan
membacakan ayat-ayat putih
menyanyikan masmur-masmur mawar
juga menyalakan dupa wangi
menghardik kematian yang ditolaknya

berduyun-duyun manusia malang berbaju badai
menyesalkan jarak pandang dan rengkah tanah pusara
yang makin susah dibayar dengan airmata
mereka yang selalu mengembara

saat Jibril kembali mendengarkan petuah khatib di masjid
yang tanpa makmum karena ternyata khatib itu bersuara lewat pita rekaman

2003-2005
ZIARAH JENAZAH

tubuh keperempuanku tergolek pucat
ada seberkas warna dadu menyilang dada
getaran nadi di otak tertikam pisau stroke tajam

tubuh keperempuanku tersayat panas denyar bisik lirih penziarah
menanyakan keanehan mayat keperempuanku belum terkafani

perempuan-perempuan kampung berduyun-duyun mengempit tasbih dan buku doa
mereka bersama menyirami kepenatan jazat yang papa ketuaan
kepala setengah botak tersengat perlakuan dokter tehnologi tinggi

tubuh keperempuanku tak lagi menggeliat hanya berdesis menghamburkan bau amis
makin siang makin menyengat bau mayat mulai membusuk

orang-orang masih sibuk mencari lahan kubur yang tersisa
menilpun sanak saudara menanyakan apakah mau menghantar jazatku ke pemakamanan
mereka berkasak-kusuk tentang siapa membiayai bunga tabur
mereka bertengkar tentang ambulan jenazah dan bis atau mobil sewa untuk penziarah
mereka menziarahi masa depan mereka sendiri-sendiri dengan berguman jika kumati
mereka mendendangkan keinginan atas kubur teduh dan penziarah penuh

aroma busuk mayat keperempuanku makin mengudara memenuhi ruang-ruang
kamar tidurku masih terserak baju kotor
kamar makan bergeletakan gelas dan piring serta sendok – garpu jejakmakan malam terakhirku
kamar tamu yang segala perabot sudah diungsikan kerana aku terbaring bisu di tengahnya
kamar mandi yang habis sampo dan sabun mandi serta celana dalam kotor di ember,di depan pintu kamar mandi sepasang sandal jepit tergeletak rapi di atas keset kain yang makin kusam bertuliskan welcome!
lampu-lampu semua sudah dipadamkan juga radio dan televisi teronggok di sudut ruang keluarga dengan kabel terlepas
tikarpun terhampar di lantai sedang orang-orang sibuk menghaluskan kayu cendana, meremukan kapur barus dan meronce bunga kebun dan daun pandan
mereka terus berguman
mereka menggunjingkan suamiku yang masih gagah
mereka menaksir-naksir apa yang terjadi dengan rohku

rohku duduk mencangkung di luar bersama malaikat yang menjemputku
malaikat itu selalu membujukku untuk segera berlalu
tapi rohku menawar untuk meyakinkan semua handai tolan dan sanak saudara hadir
rohku haus akan doa-doa tulus dari saudara sekulit sedarah
kelima anaku yang sudah menghadiahi cucu sepuluh hadir satu-satu
menyesali kepergianku
menangisi ketidak-dapatan menungguiku
memeluk suamiku yang diam tergugu terkuras airmatanya semalaman menjelang kepergianku

tubuh keperempuanku diputuskan untuk dimandikan tepat setelah matahari di ubun-ubun
setelah selesai istirahat kerja mereka dan sedikit makan bekal yang dibawa dari rumah

perempuan-perempuan kampung berduyun datang dengan sigap membentang kain menyiapkan air dan gayung bertaburan bunga setaman
di ruang tamu setangi dinyalakan mengusir bau mayat yang makin menyengat

perempuan-perempuan kampung itu mulai menyuruh lelaki mengangkat mayat keperempuanku dibaringkan di balai beralaskan pohon pisang yang terbelah

dengan desisan doa pemimpin, upacara permandian jenazah mulai, mereka mengguyur tubuhku, menyabuni, menyampoi rambutku kemudian mengeringkan dan diangkat ke ruang tamu lagi dengan keadaan terbungkus kain batik

perempuan-perempuan kampung dengan sigap merobek kain kafan melipat membungkus menalikan dan siaplah keranda terbuka menerima tubuh keperempuanku berpakaian perang menuju alam kubur

rohku menangis dan malaikat itu membujuk bahwa segalanya telah selesai
semua berjalan dengan baik
aku sudah siap untuk menyerahkan dunia ini kepada penerus darah kulitku
tiba-tiba kurasakan getaran angin yang membelai pohonan
matahari sudah mencondongkan bayang-bayang ke arah timur
beberapa gumpal awan merayapi langit mengurangi terik siang

iringan jenazah melawati kota dengan kibaran bendera kuning dari kertas
beberapa pemuda dengan mengendarai sepeda motor membuka jalan
sirine mobil jenazah melengking dengan gertapan lampu biru meminta jalan agar segera menuntaskan jazatku di baringkan di bumi di kembalikan seperti makna ayatNya

rohku menatap jazat keperempuanku yang terbungkus kafan rapi diturunkan di liang lahat tempat peristirahatan terakhir di awali dengan suara adzan dan qomat serta gugukan tangis kerabat terutama anak-cucuku
mereka menutup dinding lahat dengan beton agar kedap air dan timbunan tanah tak menimpa jazatku

orang-orang segera beranjak meninggalkan gundukan tanah merah yang menyimpan jazat keperempuanku
rohku bergayutan di pokok kemboja berbunga lebat putih-putih dengan sudut tengah yang menguning
beberapa kumbang berkitaran di sekitar bunga
burung-burung yang menanti senja telah bertengger di rating dahan pohon beringin di tengah makam
tak ada burung gagak meratap
tak ada burung kedasih merintih
tak ada burung hantu menderum
pemakaman itu sepi
pemakaman itu mencatat
detik berlarian dip agar
dan matahari lindap di balik dedauan

penjaga kuburan dan beberapa penggali kubur menyudut membagi rejeki hari ini
rohku masih bermain-main dengan angin di pepohonan
megapun berarak menyusut ke barat merah semerah tanah tempat jazat keperempuanku
senja membayang dalam perjalanan menuju kesempurnaan
senja menorehkan luka panjang bagi yang masih mengingatku
senja menyimpan misteri kepergian
senja ziarah kubur keperempuanku melindas segala kenangan
dari balik rumahku mereka membacakan ayat-ayat putih dan doa
agar jazat keperempuanku dihindarkan dari siksa kubur,
rohku diampuni dosanya diterima di sisiNya

mereka terus menghitung hari agar aku tak menanti-nanti
Boo-19-02-03 – 19-03-05

ZIARAH SERANG

kususuri jejak purba lewat kuburan tua
sisa kerajaan, petilasan masjid-masjid tua
jalanan berdebu juga pepohonan meranggas
hanya lelaki tua berkopiah lusuh berkemik doa malam-malam
berlampu minyak menari dihembus angin semilir makin mengukuhkan kepurbaan

jalanan lengang tanpa tiang listrik dan jauh rumah penduduk
cahaya bulan setengah semburat mengarahkan mata-angin
layaknya pelaut memburu ikan membantu nelayan melarikan diri dari kejaran nasib

lelaki tua berkopiah lusuh itu masih sibuk dengan hitungan zikirnya

kususri seluruh masa depan
tentang abad kehancuran
tentang keingian yang tak terpuaskan
tentang cerita raja tak bermahkota
dan rakyat tak lagi bias bicara
2003-2005

ZIARAH NOKTAH 2005

titik pada dinding samodra pada putih pagi puisi (sisa ilusi tsunami menggaris tipis)
ZIARAH KEPEREMPUANKU

kau biarkan tamumu berdiri didepan pintu dengan wajah tegang tegak
tak ada ruang tamu dengan televisi atau radio menyanyi menarikan lagu rock’n roll
tamu itu tetap tegar sampai desis bisikan lirih menggamitnya menuju celah jendela
kuserahkan keperawananku di pelaminan sejati esok pagi
saat matahari menghangatkan bumi dengan denyar-denyar nafas beraroma kesturi
saat sepasang tangan terkatup deru gelombang makin menyusut malam

aku biarkan goa itu mengelupas
tak ada desir angin kemarau menyingkap kelambu
nyamuk dan lalat telah ruruh di balik daun
diam amarahku terkuak meluncur tepi jendela
gerimis mulai menjarum di luar kamar
swaranya liris bagai puisi dinyanyikan
swaranya hilang dalam gemuruh deras gerimis
2003 - 2005

ZIARAH KELAMIN 2005

kuku musim mencakar punggung bukit menorehkan nafsu
dibiarkan belahan lembah gundul tanpa pepohonan diguyur garis gerimis

desah angin barat bergegas meniup layar pemburu ikan di laut lepas
kibaran kain layar tua berkeredep menyusup gelombang menggelora

ada celana dalam dan penutup buah dada terengut dalam kayuh biduk menyusup gelombang
tercecer rambut-rambut kemarau bergeriap tersulur menuju gisik pantai putih

dalam erangan burung camar gagal mencucuk ikan
disandarkan mimpi ziarah kelaminnya pada dinding kamar mandi
air mani itu menetes mengaliri rongga lingga menuju liang kesuburan bumi

gerimis menyelesaikan lukisan kelabu
tiang-tiang listrik dan telepun basah
ada kupu malam mengerjap mengejar sinar lampu
terjerat dalam panah pijar yang mematikan

ZIARAH NEGERI GAJAH 2005

jejakmu memang sudah menjadi mall-mall dan plaza-plaza pertokoan
ada tersisa bukit gersang yang mengusirmu dari kekinian

jejakmu menempel di lapangan terbang yang bisu
taksi gelap dan pengantar yang tak dapat melewati pintu gerbang
sengaja kucari desir nafasmu di pekuburan tua tanpa penziarah
sia-sia kurenangi rawa-rawa membuntuti naluri hutan yang menyimpan misteri

jejakku sendiri hilang ditelan bayang kerajaan Sriwijaya

legendamu membuyarkan nafsu amarah
ceritamu memburu angin barat dan tersesat di belantara

di jalanan jengkerik beradu otot dan membunuh lawan
pagar kayu itu rapuh dilahap rayap

ZIARAH ROTI

jeritan “boti” membelah pagi senyap menawarkan mimpi
menyeret pada jalanan bebas hambatan dengan kecepatan maksimal
di keremangan pagi masih saja kutemui remah roti kemarin
satu-satu dipecah semut dibawa menuju liang
jeritan “boti” pagi-pagi jatuh lenyap dalam liang semut

semut itu menyandera roti
semut itu menjeritkan pesta bagi ratunya
semut itu tetap merayapi kawat telepon diam-diam
2003-2005

ZIARAH PUISI

huruf kata frasa kalimat terpenggal berantakan hingga tak dikenali
kumpulan paragraf alinea menjorok lumer kerna musim salah hitung
bulan yang cidera didera pesawat antariksa luka menganga bagai koreng pengemis
kerumunan lalat lata memanusia tertipu cahaya kota pengembara
masihkan kau puisi jika tanpa huruf kata frasa kalimat alinea?

aku masih puisi yang memuisi sebunyi dalam aliterasi
samar kulipat makna dari kumpulan huruf yang mengkata
angin bergulingan di padang pasir menaburkan debu puisi
menusuk mataku setajam mata pisauMu
2003-2005

ZIARAH ILALANG

sukmaku masuk ke akar rumputan tertusuk
luka menembus langit tanpa mega
bergelombang angin menelikung cakrawala
membuncah resah rasa bungah bunga-bunga

tanganmu merapat ke sisi kiri penggunungan rimbun belantara
menyusuri lembah-lembah tajam mengiris kenikmatan
satu-satu nafas luruh gerimis runcing menancap dedauan

tangan bertaut gigi gunung berkerut menumbuhkan gempa
Ya Allah! aku telah mendustai akan segala yang kau tumbuh-kembangkan
kubunuh segala semak ilalang mengubur keperempuanku

kusedu akar menggolakkan gelegak gelombang garam
pepohonan merunduk membuka kelopak kesturi
tangan keperempuanku merenggut sampai keakar-akarnya
2003-2005

ZIARAH RUMPUTAN 2005

rebahan gerak alami memusat ke arah matahari
mengharap hangat menyelamatkan hayat
tangan-tangan kumal menggumpal menjadi asap jelaga
berhamburan ke tengah kota meneriakan kelaparan
membakar kota dan desa menumbuhkan bencana sosial
kubaringkan arah matahari mulai senja pada ziarah roh masing-masing
mereka menyanyikan lagu-lagu duka
mereka menghentakan kakinya di depan gedung perwakilan negara asing
membawa bedera kumal dan robek robek terhajar badai sepanjang jalan
biduk oleng tanpa kayuh penggelandang negeri mengetuki pintu-pintu
kota sepi mulai melarikan penghuni dalam bunker labirin waktu

bulan merayapi cakrawala dengan wajah setengah
cahayanya menusuk langsung di pekarangan pekuburan
burung hantu terus mengawasi setiap gerak lembut
di kejauhan gedebur gelombang pantai membentuk karang
membuncah buih dalam kesepian

ZIARAH FAJAR

malam menikam diufuk barat di celah mega (aku merunduk menggerumuti kelaminmu)

ZIARAH TERANG TANAH

di lembah-lembah merayap suluran pepohonan menggapai cahaya
dari kota-kota terdekat rumputan ilalang perdu memancarkan cahaya listrik
bagai petir kunang-kunang serangga malam mengerjap perjalanan waktu memutus rantai keremangan diketiak hujan ritmis melukis garis cakrawala
berkedap-kedip berbintang cahaya biru merah di ujung liang jejak binatang lata
terjerembahlah wahai penyusur malam
saat kedasih menyanyikan kematianmu
saat gagak mencabik rohmu
saat senja jauh dari gapaian maknawi indera saktimu

di bukit-bulit gundul tanpa satwa
pertama itu asyik menghitung langkah lewat butiran tasbih
gerimis turun di balik pepohonan memercikan bianglala
2005

ZIARAH SUBUH

angin masih bertasbih di serambi masjid
sementara burung-burung mengaisi sayap sambil mencucuki kutu
seranga bergelung di labirin waktu
dedaunan dengan fitrahnya merunduk menunggu cahaya mentari

dendang syair ilahi lewat lorong-lorong waktu
menghitung usia manusia dan dunia
tangan kianat malam menempel di tiang listrik tanpa lampu
terguyur basah gerimis semalaman
mencoba merosot dari tiang cakrawala menuju liang-liang kelam

angin bangkit mengumandangkan adzan
menarik selimut semesta membuka tabir cakrawala
ternyata pagi ini aku masih kau sentuh dengan nafasMu: Alhamdulillah ya Robbi.

angin telah selesai rakaat sunah pertama
kecipak air di selokan mengumandangkan masmur pagi lirih
sedang pohon membisu dalam meditasi
seorang lelaki membelah pagi denmgan pernyataan putih
2003-2005

ZIARAH MASJID

kemana jejak uang para penderma saleh terbaring?
pada sajadah bergandengan dan melukisi mirhap masjid
juga pada mikrofon yang senantiasa meludahkan nasihat untuk taqwa
apa pada dinding tempat wudhu yang berlumutan coretan kekesalan umat?

kemana jejak zikir para mustahid mendesir di dinding masjid?
menjadi kaligrafi namaMu dan pesuruhMu dalam warna keemasan
senantiasa arah kiblatmu menuntun mereka yang buta hati buta batin
dalam kemikan doa lirih pagi-pagi menjadi lapisan mentega hidangan sarapan roti

kemana jejak doamu pagi ini?
menggelinding bersama air comberan
berceloteh tentang doa dan rejeki
berbisik menembus kabut yang gemetar di dedauan
ZIARAH ISTERI

lelaki itu tidur memeluk kelaminnya dan membiarkan pahanya tersingkap
malam-malam ketika detak jam berhenti menyusuri denyut nafas wangi

lelaki itu masih lelap tisur dan istrinya berganti wujud ular sanca kembang
merayap ke luar lewat sela-sela dinding bamboo yang tersingkap

lelaki it uterus tidur bermimpi dan memburu ular dalam alamnya
2005

ZIARAH PERSELINGKUHAN

dari hidung mungil tangannya menggapai selimut malam jadi gulita
bulan berhenti di sudut bidang langit yang berawan
beribu bintang menyanyikan lagu cinta surgawi

lelaki itu dengan mimpi kelaminnya tersangkut di candi-candi purba
dipermainkan para kurcaci yang senantiasa memegang bendera warna warni
lelaki itu memburu mimpinya hingga fajar

ZIARAH SUAMI 2005

dihajarnya malam dengan erangan nafsu menggelegak
dicabiknya kelambu malam tipis mengundang syahwat
nalurinya melumatkan bola-bola nasib menggiring angin mesum keremangan
tangannya mencakar punggung bukit menghadirkan air bah menenggelamkan kota
garis gerimis sisa semalam mengkristal jadi butiran-butiran es

digerayanginya geraian sulur-sulur rimba mengering dilibas kemarau
danau tanpa ungas dan ikan itu direnangi dengan amarah
dijangkaunya ganggang dan segala lumut yang tersisa
di seberang danau di bibir pasir nafasnya terhenti satu-satu
selimut tipis pagi menutup tubuh lelaki bugil dalam kepuasan.

perempuan yang tergolek di didinya
bangkit membenah penutup buah dada
mengaitkan kancing dan mengibaskan debu
rumputan tegak dan kembali rebah tanpa daya
perempuan itu selesai menyisir rambutnya
kakinya melakang menuju baying-bayang pagi

ZIARAH SENJA 2005

burung sudah lama mendekam di sarang malam
serangga malam dan lelampuan jalanan berpendar mengiringi langkah rembulan
bintang tersipu tergoda gerimis yang miring di perbukitan
pepohonan merunduk mencatat suhu
jejak cakrawala lindap di dada

burung malam masih mengeja malam
mega berarak ke selatan meninggalkan pesan badai kemarau
penyu dan ikan lumba-lumba tenang membelah ke dalaman lautan
gelombang pantai selatan membisu membuat garis pantai putih
burung camar segera bersuit dan berbarengan menghilang di lindap hutan

burung malam itu terbang mencari sarang setiap kelam

ZIARAH MAHRIB 2005

telah diselesaikan rakaat ketiga saat telpon berdering
tapi sia-sia dia mengucap salam ketika sebilah pisau berkeredep
menembus jantungnya yang terbuka
telpon terus mengisyaratkan panggilan sejalan dengan denyut nadi yang melemah
tangan pisau itu menyambar dan membantingnya: klik!

telah diseret mayat bersimbah darah
menuju liang lahat yang tersa di gali
ditusuk jantung mayat sekali lagi
seakan menusuk dada Jesus di tiang salip

ZIARAH MALAM 2005

diselesaikan lukisan senja yang telah terpotong
disimpan dalam kenangan perempuan di depan jendela
ditunggu jejak bintang lelaki meluncur di arah selatan
di persimpangan musim kemarau saat terjaga di ujung senapan
ditembakkan kea rah matahari lindap di cakrawala

matahari rebah di lautan dadanya berdarah
erangan lirih dibawa angin dikabarkan ke gunung
dan dicatat pepohonan
ungas-ungas berkotek memprotes pembunuhan terencana
mathari menutup hari dan malam menyelimutnya dengan kafan hitam

ZIARAH DINIHARI 2005

janji matahari terbit diufuk setegar kokok ayam jantan di dahan mempelam
angin masih sibuk bebenah diri di kamar kecil masjid sudut desa
beringsut-ingut membangunkan kedasih yang lupa sikat gigi
disruput udara pagi beraroma roti dalam kaleng biskuit rombeng
kopi pahit kental tanpa pemanis menguyur kelamin betina
membuncahkan fajar rajah di bunga-bunga yang lindap

jemarinya luka pisau disiram garam
merah semerah daging ikan salmon yang terbelah
kakinya luka tertembak peluru nyasar

ZIARAH IKLAN 2005

lampu yang berkelap-kelip muntahkan pesan yang menggigit
belilah aku dan nikmati aku

gerak yang lincah meloncat dan melenting melelehkan selera
reguklah hidup hisaplah kesempatan

desir yang tajam menggaung melingkari labirin membekukan nyali
minggir jika kau tak lagi punya dompet penuh nilai

ZIARAH HAIKU 2005

musim yang tersangkut di kawat listrik
menyimpan pesan hujan
terseret angin barat berantakan di kaki gunung

listrik kota mati di lahap petir
memporak-poranda pesan

ZIARAH HAIKU SALJU 2005

telah dipahatkan di dinding langit
biru kibasan mega putih
jatuh melengkung di perut bumi

kemudian melenting di genting kaca
menembus segala warna
memendar di layer televisi saat acara komersial

ZIARAH JEJAK 2005

sepasang jelaga merayap dinding kali
mengikuti aliran sungai menuju muara

sepasang debu menggeriyap di kaca

ZIARAH WAKTU 2005
menuliskan prasasti tentang cuaca

sepasang kabut saling berebut jalan di pintu mobil
kemudian menulis puisi embun tentang onderdil

ZIARAH HAIKU MUSIM 2005

bak cinta yang datang tiba-tiba
meninggalkan luka merah dadu
di jantung perawan yang menangis di bangku taman

bak tinta di botol terguncang
membentuk gelombang
berwarna kusam setinggi leher botol

ZIARAH HAIKU MATA-ANGIN 2005

pernahkah barat dan timur bertemu?
adakah sunyi di utara dan selatan?
batas barat timurlah membujur lintang

pernahkah utara dan selatan bertemu?
adakah ujung bumi?
batas suhu hangat suhu dingin terbaring

ZIARAH HAIKU PAGI HARI 2005

semangkuk bubur ayam
sepasang sumpit
menyusuri bibir hari tak pasti

kerupuk kulit renyah
tangan berminyak
menggapai hari pecah di pantai

membuncah cahaya berpendar di cakrawala

ZIARAH HAIKU MATAHARI SEPENGGALAH 2005

batu-batu gunung merenung
menusuki langit dengan jelaga
sepasang tangan munggil menyibak dedaunan dunia

dinding-dinding kota menghimpit
nafas-nafas memburu
ada jejak kaki kecil menuju stasiun kota

MEDITASI

telah disempurnakan nafas bumi pada lautan bergelombang
akan kekhusukan mata memusat pada jejak matahari

ada suara burung dan kesah angin di daunan
memburu angan melayang di cakrawala

MELINTASI ANGAN

kurasukkan sukmaku pada batu-batu dan gisik pasir danau
kubaringkan hasrat makan mati tidur pada altar langit terbuka

SELAMAT PAGI BOGOR 2005

digoyang rerumputan yang lelap
embun menempel di kaca mobil dan bebatuan
juga debu lesu di sudut kamar

deru mobil angkutan kota
gelepar sampah plastik dan bekas permen
serta jejak cacing melata di halaman

denyar nafas dapur mengantar waktu sarapan pagi
dengan puisi, koran pagi dan sepotong roti

diraba dada kota yang cekung
menyusuri liku jalanan berbatu
tak ada lagi nyala lelampuan karena senja

asap mengawan mewartakan kehidupan esok pagi

SELAMAT SIANG BOGOR 2005

sudah beribu langkah tahun kujejaki kota lusuh ini
stasiun tua dan pasar-pasar riuh
jalanan berlobang dan mall-mall berdadan lelampuan

sudah ratusan kali kusilangi kota sibuk ini
dalam naungan pohon-pohon purba
ketiplak kaki kuda sado
erangan penjaja asongan di lampu merah

sudah kesekian kali kutumpahkan hasrat kelaminku pada jalanan sibuk ini
memutus rantai budaya flamboyant masa laluku
senantiasa basah pada dataran kota tanpa bibir pantai
ZIARAH KEKASIH

sudah selesai kureka puisi bagi kota yang sibuk
pada bait-bait tanpa makna
senantiasa bunyi sumbang kekalahan atas nasib
niscaya lindap pada gigir waktu jeda

SELAMAT PAGI HUJAN 2005

kugaris di cakrawala dengan miring gerimis
basah jalanan basah lelampuan
basah rambutku basah celana-bajuku

kusilangi awan gemawan dengan ludah basi
begitu gelap di hari penghujan
di jalanan orang berdiri menunggu angkutan kota
berlindung di balik paying warna-warni

KUGARIS BASAH JALANAN

masih subuh tanpa cahya mentari
kuburu cakrawala denyar nafas kelamin terpangkas
perempuanku masuklah dalam dada bumi
bukit sayup dalam gerayangan alam telanjang
meregang dalam bisik resah pejalan malam
gerimispun diam dalam genggam

masih subuh perempuan itu mandi di kali
dicuci rambutnya
digosok giginya
dilulur kulitnya
diwangikan kelamin surganya
dan subuh menyusup perlahan hingga dasar gua melahirkan gagasan

KUGARIS BASAH LELAMPUAN

cahayanya suram miring di sudut jalan mati
tanpa pedagang asong tanpa pengamen lusuh
uang receh siap digenggaman terguling jatuh di selokan basah
gerimis menyisakan kabut di mata penjaja malam pulang

cahayanya makin redup ditimpa baying gerimis
yang makin membekukan cuaca pada titik nol
tangannya menggapai sulur lepas berjuntai

2005
KRL BOGOR – JAKARTA

hari libur pagi-pagi
kereta penuh sesak penumpang dan pedagang juga pengemis
menyeruak lagu pengamen elektronik maupun tanpa alat
juga kotak-kotak dari pesatren yang meminta perbaikan gedung

hari libur
pagi kereta listrik meluncur ke Jakarta
anak-anak usia sekolah merayapi dinding luar
memanjat di atap kereka berlarian dalam kecepatan kereta

hari libur tanpa hujan dan risik angin
ke Jakarta menguak tubuhku didekap mesin pencuci darah

hari libur selepas hujan malam
besi itu berkata pada embun
tentang penjaja cinta semalam masuk berita televisi

hari libur koran terbuka penuh gambar orang tertawa
mereka mereguk alcohol dengan botol terbuka
ruapnya ungu memenuhi cakrawala

hari libur pendar cahya magnetic layer komputer
wartakan gaduh di ruang tentang harga kelakian

masih hari libur
berbaring senyap
membayangkan perjalanan kereta sesak
penuh pedagang
penuh buruh
penuh pengemis
penuh pengamen
penuh penyair
penuh puisi
penuh air mata manusia melata

hari libur
kereta listrik kosong
menuruni rel dingin Jakarta
menyisakan cerita kemarin
ada yang diburu ada yang memburu

2005


MIRING GERIMIS DI CAKRAWALA

pagi baru bangkit di sarang malam
wajah kuyu perawan terperkosa kenikmatan
asap sisa keretek tertikam asbak menyeruak di angan
membungakan harapan terselip di bantal pembaringan hotel di sudut kota
diraba dada makin pudar dilumat malam
melangkah guyuh dalam kubangan menyiram letih kembara
(lelaki berapa jarak lagi kau buru betina malam-malammu?)

DENGAN GERIMIS

kunyatakan luka jiwa tertikam cinta
ada kepergian pagi ini bersama burung kedasih
sedang ribuan burung gagak menganga mengharap jazat
tubuh yang renta itu punah sudah di telah liang lahat basah
airmata isteri anak cucu dan tetangga

kunyatakan luka menganga terbelah pisau bedah
darahnya meleleh perlahan ke ujung mata pisau berkilat

kunyatakan perang pada kemunafikan atas cinta sesame
kutancapkan pisau itu di mata dunia yang makin rabun

GENGHIS KHAN
(buat Heri Latief juga Yono Wardito)

kukuburkan sejumlah puisi cinta
yang terbuhul dari perselingkuhan
hasil dari hubungan gelap yang bertahun-tahun

Odipus layaknya yang menikmati jalan hidup
menusuk kedua matanya setelah dua pasang manusia merangkaki usia
ratusan bahkan ribuan suku bangsa dilibas dihancur-lumatkan peradabannya
dengan tingkah barbar dan bengis

lampu yang berkelap-kelip muntahkan pesan yang menggigit
belilah aku dan nikmati aku

Odipus bukan Sangkuriang yang gagal memasuki goa kehidupan
tertelungkup kapal pesiar siap melaju dalam arungan cinta birahi
bukan pula Bandung Bondowoso yang sempat mengunyah potongan keliking ibunya
terpuruk di fajar semu yang mengusir segala jin untuk membangun seribu candi
yang keseribulah si perawan sunthi Loro Jongrang
tak mungkin dia Si Malin Kundang yang terpuruk membatu sebelum sauh terangkat
karna kianat pada bunda suci jalur kehidupan meluncurkan kembaranya
sepasang jelaga merayap dinding kali
mengikuti aliran sungai menuju muara

Odipus bukan Rendra yang menerima telegram ketika senja
yang mengirim pesan lewat SMS saat tubuh limbung di balai putih darah tercekat ditabung dicuci sampai tandas dan sinyal itu hanya gema
ketika SMS itu menjelang saat selsesai sholat subuh tepat kemikan dzikirnya pada hitungan ke tigaratus tigapuluh tiga menuju ke seribu sembilanratus sembilanpuluh sembilan

bata-batu gunung merenung
menusuki langit dengan jelaga
sepasang tangan munggil menyibak dedaunan dunia

Odipus yang tegar akan badai dan siap hunjam kejantanan memasuki goa menuju nirwana: Mari kita bersulang!

pernahkah barat dan timur bertemu?
adakah sunyi di utara dan selatan?
batas barat timurlah membujur lintang

Odipus yang tua dengan tongkat dan sejumlah keinginan
memanah rajawali yang tersilang angin utara
layaknya pendekar Sangaji memukulkan jurus sakti pengemis penggebuk anjing

perempuan perempuan wangi bunga berputar dalam angan
angin dingin utara menyibak gaun tipis penutup dada
membuka cakrawala Rahwana siap mencakar

Odipus memang bukan Rahwana yang serakah adigung adiguna
mencuri perempuan istri orang
membunuh kerabat kandung kerna menghalang rintang
melupakan pesan suci atas raksasa yang suci
rela mati untuk negri bukan utuk kekuasaan Rahwana

Juni 2003 – Maret 2005

TSUNAMI 2004

fajar baru saja mernyelinap di awan kelabu
menyekap lagu riang burung
meneteskan air mata di gubuk-gubuk nelayan

jejak jarum pengukur menuju sembilan
bukan angka keberuntungan
lebih dari petaka
SAJAK AWAL TAHUN 2005

menggoncang angan merontokkan mimpi

musim panas baru saja kita ukir
dengan liur cinta
mencoret dinding taman dengan gambar
jantung terpanah
remah-remah sarang burung
mengungsi ke selatan
saat pepohonan evergreen tersangkut musim dingin

salju merayapi dinding apartemen kusam
mata curiga tupai di liangnya
juga guratan jejak chipmunk

tetapi kemarau di sini makin tipis desah Sapardi
menguntai bunga turi dan randu alas
setia menanti
setia bermimpi

wahai imaji-imaji berloncatan
angan-angan awan gemawan
geriyap sesulur menjuntai di sudut
hutan karet tua menjelang gubuk tuamu
saat subuh luruh dedaunan penuh warna
2004 -2005

SETELAH TSUNAMI REDA

sepasang katak melompat
ke kolam tenang

fajar itu menyelinap dalam berita
pecah duka di Nusantara
meledak tangis luka sepanjang pantai Asia
di ujung hari meretas mimpi
di ujung jalan pulang panjang
airmata airmata tak lagi terperas
serak kerongkongan mengeja namaMu
mengeja kehendakMu
menatap sentuhan jemariMu
di pantai poranda
di tubir gunung bungkam membara

2005
SAJAK AKHIR TAHUN 2004

kami bersijingkat
meloncati waktu melintang

CERITA TSUNAMI BAGI SAPARDI

fajar menyimpan duka
fajar memburu cerita burung
musimpun berganti para pelacur di pingir jalan becek
musimpun memakai baju renda pipi bergincu merah tua
penyair menggoreskan mata pisau
mata pisau berkarat penuh racun
dukamu dukaku dukanya abadi
matamu mataku matanya aquarium
kapalmu kapalku kapalnya dipinjam Nuh Tua
sihirmu sihirku sihirnya Rendra mengaum menjerit luka
hujanmu hujanku hujannya rintik di tiris ditingkap gerimis Juni
apimu apiku apinya membakar bulan Mei dalam kembara
tunas-tunas bambu
pucuk-pucuk cemara
remasan jemari
kecupan bibir
desah lirihmu
lukisan cina terpampang di ruang tamu
kelopak bunga rontok
dedauan lubang dimangsa belalang
cintamu menyelinap tajam mata sembilu

surat-surat senja kauuntai riuh
cakap sunyi peronda dalam gerimis
surat-surat mimpi
surat-surat rayuan cinta
bangkit kala angin-angin menggebah petaka
lidah terjulur renggut nyawa tersungkur di kubur

fajar telah lama menghilang
tahun berkelebat
guguran salju
rayapan sesuluran
rintih kedasih di ujung desa
rumahmu masa depan menjuntai
dalam genggam bayi telajang terbuai gelombang
nyawa meregang menggenggam sorga
fajar kemarin
2004-2005
TSUNAMI ASIA

dalam hitungan detik
dalam kerdipan mata
dalam genggaman tanganMu
lebih dari 150000 ruh
kau panggil sekaligus

dalam kelam fajar
dalam temaram senja
dalam geram gelombang
kau porak porandakan impian
lebih dari 7000 kilometer
tanganMu meremas bumi
kakiMu menapakkan dukana

MUSIBAH 2004

petunjuk atas keperkasaanMu

masihkah tersisa desah
kau tinggalkan resah
kau patrikan gelisah
kegagahan
kepongahan
keserakahan
tersalip saat Natal meninggalkan jejak salju di bumi utara

lelaki itu menunjukkan luka di tangan
luka di lambung
bumi terbelah menyimpan janji manusia
aku tak lupa janji itu janji Tsunami janji tunduk
aku tak buta janji akan mimpi
aku tak tuli janji patuh janji pasrah
2004-2005

INDONESIA MENANGISLAH

Airmata siapa lagi yang berderak?
Airmata siapa lagi yang terserak?
Airmata yang terhempas pada badai
Airmata lelaki anak-anak perempuan manusia
Airmata ibu bumi alam
Airmata kita-kita
2004-2005
MENANGISLAH DEMOKRASI

dalam sidang malam itu
percakapan diganti pertengkaran
demokrasi menjadi sikat gigi
tanpa pasta menggosok senyuman Indonesia

JEJAK PAGI

tanah mana lagi yang kau jejaki?
lumpur merah dan tanah kelabu berlumut
memendam misteri bencana tsunami
(biarkan cerita itu terkubur dalam berita televisi!)

ada sepasang cangkir teh hangat
setoples kudapan
tangan guyuh menyambut angin malam
(geram musim di jendela mengibaskan berita tentang anak cucu)

sepasang capung masih asyik bermain di kolam
menuliskan puisi alam tentang masa depan
bayangannya bergetar ketika katak melompat
menciptakan gelombang melingkar
bibirmu berkemik tentang desis bencana
menyekapku dalam lamunan perjalanan akhir pekan

(burung-burung dalam formasi V menuju wilayah kehangatan)

kembali pintu itu membuka dan menutup
bak laba-laba menyergap serangga
terjaring di sarang yang pekat

pintu makin kelabu
ada bayang-bayang laba-laba mengintip
seakan jerat cintamu yang purba
2005

deRENDRA

tangannya menggenggam dunia
dalam mimpi tua di ujung hari
saat angsa berenang di lazuardi
meneteskan cinta nista penguasa
dalam opera sabun di pentas politik

Biodata
Nama: Cunong N. Suraja
Lahir: Yogyakarta, 9 Oktober 1951
Menulis thesis tentang PUISI DIGITAL untuk S2 di FIB-UI jurusan Susastra (2006)
Karya-karyanya tercetak pada buku terbitan YMS Jakarta
Mengajar di Universitas Pakuan dan Ibn Khaldun Bogor

Karya Tulis
Bulak Sumur – Malioboro. (Antologi Puisi Bersama). 1975. Yogyakarta: Dema UGM
Lirik-lirik Kemenangan. (Antologi Puisi Indonesia). 1994. Yogayakarta: Taman Budaya Propinsi DIY
Antologi Puisi Indonesia 1997. (Antologi Puisi Bersama). 1997. Bandung: Komunitas Sastra Indonesia dan Penerbit Angkasa Bandung
The American Poetry Annual. 1996. New York: The Amherst Society
The Lasting Joy, The national Library of Poetry. 1998. Owings Mills: The National Library of Poetry
The Chorus of the Soul, The International Library of Poetry. 2000. Owings Mills: The International Library of Poetry
Graffiti Gratitude. (Antologi Puisi Cyber). 2001. Bandung: Yayasan Multimedia Sastra dan Penerbit Angkasa Bandung
Pasar Kembang, Yogyakarta dalam sajak. (Antologi Puisi Bersama). 2001. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia Yogyakarta
Graffiti Imaji. (Kumpulan Cerpen Pendek). 2002. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra dan Penerbit Damar Warga
Les Cyberlettres (Antologi Puisi Cyberpunk). 2005. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra
Mekar di Bumi. (Visiografi Eka Budianta). 2006. Jakarta: Pustaka Alvabet
Jogja 5,9 Skala Richter (Antologi Seratus Puisi). 2006. Yogyakarta: Penerbit Bentang