Rabu, 12 Maret 2008

MENDENGAR EKA BUDIANTA

Namanya memang saya kenal sejak tahun tujupuluhan dengan buku kumpulan puisi BEL, REL, BANG BANG TUT dan yang terakhir saya membaca buku Eka Budianta mengenang 80 tahun Pram Mendengar Pramudya.
Seperti warna suara dan gagasannya pada catatan tentang percakapan dengan Pram, Eka tak pernah saya jumpai dalam tulisannya yang bernada polemik, semisal Emha, Linus ataupun Korrie bahkan tidak serumit tulisan Afrizal maupun selincah esai Putu Wijaya maupun Seno Gumira Ajidarma.
Seperti hal semua alumi Fakultas Sastra UI yang senantiasa memunculkan diri lewat tulisan berbentuk puisi kecuali Dami N. Toda dan Pamusuk, Eka Budianta juga muncul dengan puisi-puisinya yang tidak berciri khusus semisal Joko Pinurbo dan Afrizal Malna. Puisinya yang cenderung liris dan personal yang banyak saya baca dari Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG dan Goenawan Mohamad sangat sedikit yang mengundang untuk dicermati layaknya puisi Afrizal Malna dan Joko Pinurbo.
Seingat saya sosok pribadi Eka Budianta secara tatap muka belum pernah bertemu secara fisik baik dalam seminar, diskusi atau ngobrol santai semasa zaman Presiden Penyair Malioboro Umbu Landu Paranggi di Yogya apalagi dengan Presiden Penyair Indonesia yang belum diganti-ganti. Masa percakapan kreatif tatap muka tanpa basa-basi yang sekarang lebih banyak muncul di internet yang menyebabkan saya ketemu Iwan Soekri yang juga saya kenal jejaknya lewat media koran tahun tujuhpuluhan, Medy Loekito, Nanang Suryadi dan beberapa penulis yang sebelumnya tidak terdekteksi sejak tahun delapanpuluhan yang hanya mengandalkan Majalah Horison dan Basis sebagai barometer ukuran keberhasilan karya sastra Indonesia.
Eka Budianta yang berbicara di forum peluncuran buku Graffiti Gratitude yang merupakan kelahiran YMS yang merupakan gugusan kelompok sastra multimedia pun saya temui dalam makalah yang terbit di Cybersastra net. Saya tak sempat bersulang dan bersua dengannya.
Hanya lewat Mendengar Pramudya saya menyapanya seperti mendengar Eka Budianta yang tidak pernah memunculkan pertengkaran pemikiran sebagai layaknya aliran Rawamangun dan kelompok penulis di luar kampus yang lebih mempercayai kemampuan melihat karya sastra lewat intuisi yang dipilah Budi Darma sebagai kelompok kritik akademis dan kelompok non-akademis
Eka Budianta yang seantiasa meyapa sesamanya tanpa wacana perdebatan.
Saya bersulang dan demi kekreatifitasan mengangkat tabik semoga makin panjang perjalanan Eka Budianta yang telah melewati garis aman setengah abad menurut who wants to be a millionaire!

Tidak ada komentar: