Rabu, 07 April 2010

TIGA SAJAK LANDUNG SIMATUPANG VERSUS SATU SAJAK TULUS WIJANARKO

Dua penyair ini pernah mengeram dan berusaha menetaskan telor sarjananya di kampus yang sama. Sama-sama di daerah Bulaksumur sebuah sumur ilmu pengetahuan yang maha Gajah nan Mada. Jelas sekarang mereka bukan lagi pelancong intelek yang mengitari cemara tujuh di depan Balairung yang tegap megah. Keduanya memang berkutub beda, satu di sastra (sekarang ilmu budaya) yang lain di ekonomi. Ujung pengabdian hidupnya jelas beda satu sebagai pemain drama, pembaca cerpen dan pemain film ( “Sang Pemimpi” serial “Laskar Pelangi”) yang lain jadi pemain jurnalistik di kelompok media perkasa “Tempo”.

Sebagai pelancong intelek di bilangan cemara tujuh Bulaksumur keduanya menggeluti wilayah pelik dan muskil yakni puisi. Landung menyodorkan tiga judul dan Tulus sebagai seorang ekonom tulen cukup sejudul saja Tetapi penampilan mereka di notes Facebook mnyodorkan sasaran tembak yang sama: M A T A H A R I. Kosa kata yang senantiasa menandai kehidupan.

Dalam sajak Landung dengan tegas kosa kata itu muncul murni tanpa gincu “figurative language” bahkan salah satu judulnya memang dengan lugas menyebut “MATAHARI GARUDA” dan ketegasan itu karena ciri Simatupang yang merujuk pada etnis yang telah teruji. Sedang Tulus dengan nama belakang yang juga teruji asal etnisnya bersikap seperti etnisnya yang suka menyamarkan dalam kosa kata yang berkonotasi matahari.

Perhatikan ungkapan yang ada di sajak Landung

Telanjang ia bagai matahari. (BUNGA, UNTUK ENGELINA)

matahari menyembunyikan gelap
……..
'Matahari culas itu selalu hahahihi menyembunyikan kelam dari anaknegeri'
(MATAHARI GARUDA)

Matahari sebentar lagi bangkit, dan mereka membatin syukur
(AYAM MENCATAT CODOT)

Sedangkan Tulus hanya menyarankan adanya matahari pada baris-baris manis berikut

sore terbelah disana begitu saja
…………..
tegak seperti sore yang terbelah
(MENATAP AWAN)

Memang kalau dikulik sampai jauh mereka sangat berbeda dalam berekpresi lewt puisi. Landung maih mengikuti pakem puisi yang berbicara tentang imaji tanpa busa-busa pemahaman tentang efek sastra kuda yang sering ditunggangi ideology kiri maupun kanan. Landung dengan fasih menerjemahkan alam dalam imajinya yang bersih tanpa pretensi mengupat-gulipatkan kata jadi sebuah metafora. bahakan dengan lugas dengan mengkita mengunci sajak ke tiganya:

“Terbalik-balik makna putih-hitam, pagi-petang, siang-malam antara mereka dan kita, ayam.”

Tak ada kesamaran bahasa dalang ungkapan sajak Landung kalau kita bandingkan dengan ungkapan manis tulis yang bagai mata uang dengan dua muka atau pedang bermata dua mengiris sembilu sekaligus:

dimamahbiak dikiri awan yang terbelah
…………..

dimamah mamalia sepanjang kiri dan kanan

Dalam ungkapan sajak Tulus makna kanan kiri boleh dibekak-bengkokkan pada dunia apa saja atau wilayah apapun. Sehingga penggunaan kata mamah biak dan mamaliapun akan bergulir pada kesamaran yang dapat diurai sampai pada titil jelas ini sebuah contoh sastra kuda. Sastra yang ditunggangi sebuah wcana di luar wacana keindahan atau seni atau budaya. Sedang sajak dapat dicirikan sebagai sebuah pengulangan pencapain para penyair imaji atau simbolis yang lebih dulu bertengger di puncak master piecenya. Baik Landung maupun tulus sama-besar sebesar legenda Gajah Mada yang jadi ikon universitas Yogyakarta.
Bogor seusai gempa di Ujung Kulon




SAJAK-SAJAK LANDUNG SIMATUPANG

Yesterday at 4:39pm
BUNGA, UNTUK ENGELINA
Seorang bocah turun dari langit, menyapa dengan seikat bunga. Rambutnya diburai angin dan udara semerbak aroma. Telanjang ia bagai matahari. Telanjang serupa rembulan. Pada senyumnya yang leluasa harisilam haridepan terbebas dari sihir, pulih ke Sekarang.

MATAHARI GARUDA
Sepanjang tahun, di sini, matahari menyembunyikan gelap, bahkan dari cacing, gangsir, orong-orong dan kalajengking, para pemukim liang, kakiseribu dan kelabang. 'Sepanjang warsa mandi cahaya!' riuh nyanyi anak-anak berseragam pramuka di tanah lapang tengah kota. 'Matahari culas itu selalu hahahihi menyembunyikan kelam dari anaknegeri' gumam garuda bertengger di menara, berkumur darah berlinang airmata.

AYAM MENCATAT CODOT
Sudah terdengar jerit bersahutan di langit. Maka mereka berangkat tidur. Matahari sebentar lagi bangkit, dan mereka membatin syukur. Kaum codot akan lena sampai senjakala. Dalam remang nanti mesti mereka teruskan kehidupan meski kadang limbung dan bimbang. Terbalik-balik makna putih-hitam, pagi-petang, siang-malam antara mereka dan kita, ayam.

TULUS WIJANARKO

MENATAP AWAN

Tuesday, September 15, 2009 at 7:09am
sore terbelah disana begitu saja
dikanan bayangan rumput terinjak
dan tegak memandang seribu mamalia
dimamahbiak dikiri awan yang terbelah

selaksa rahasia terbuka begitu saja
seumpama rerumputan kehilangan bayangan
dimamah mamalia sepanjang kiri dan kanan
tegak seperti sore yang terbelah
begitu saja.

Tidak ada komentar: