Minggu, 20 Januari 2008

APOLOGIA SENO

apologia seno अतस sastra harus berbicara ketika koran dibungkam


Membaca Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra harus Bicara edisi kedua buku Seno Gumira Ajidarma yang merupakan refleksi “kemarahan” ketika dicopot dari kedudukannya sebagai editor (… karena laporan tentang Insiden Dili dalam Jakarta Jakarta …perusahaan tempat saya bekerja menghentikan saya – dan dua kawan lain – dari tugas sebagai editor … hal. 40) atas fakta yang difiksikan maka kita harus siap menerima “kelicikan” Seno dalam berkreasi membentuk tulisan (sastra!) baik cerita pendek maupun novelnya yang menyulap fakta menjadi fiksi dengan kelincahan sebagai tukang atau pengrajin kata-kata dengan menggandalkan hasil wawancara nyata dengan “korban” kebijakasanaan rezim pemerintah yang tidak mau digoyang (sila simak pada halaman 146 – 147: … sebuah teks dari kategori jurnalistik, ternyata tidak harus berubah banyak ketika ditransfer ke format cerpen maupun novel.). Seno pun sampai pada kesimpulan bahwa “Itulah sebabnya saya tidak lagi mempersoalkan bagaimana caranya kesusastraan mampu menggenggam kebenaran, melainkan bagaimanakah caranya kesustraan itu berada, bagaimana caranya kesusastraan tertanggungjawabkan keberadaannya, yang bisa dirumuskan kembali sebagai: apa yang bisa dikatakan seorang penulis tentang teks yang ditulisnya sendiri, sebagai suatu pertanggungjawaban? (hal. 142-143). Jelas ini pengungkapan ulangan seperti juga pengakuan Seno sendiri bahwa dia sering-mengulang-ulang catatannya Insiden Dili dalam.tulisannya Fiksi, Jurnalisme, Sejarah: Sebuah Koreksi Diri dan juga tentang pemecatan di Tentang Empat Cerpen, Jakarta Jakarta dan Insiden Dili, Fiksi, Jurnalisme, Sejarah: Sebuah Koreksi Diri,dan “Timor Timur” dalam Kisah Pertukangan mengolah Fakta Menjadi Fiksi. Dedam itu begitu menggumpal selama dua tahun menjadi 12 cerita pendek dan satu novel. bahkan dalam suatu perbincangan di forum diskusi menovelkan film, Seno juga mengaku bahwa dia dipesan untuk menovelkan Biola tak Berdawai yang harus dikerjakan cepat dengan jumlah halaman tertentu, sehingga sebelum dia memenuhi jumlah halaman harus menyisipkan cerita sempalan tentang wayang, ataupun tentang ilmu jiwa sehingga novel itu pas sesuai dengan jumlah halaman yang dipesan dan dia sudah tidak lagi membaca ulang untuk menyunting. Pengalaman menukang cerita pesanan itu sudah dijalanani ketika bergabung dengan Putu Wijaya mengasuh almarhumah majalah Zaman.
Sebagai bahan bacaan enteng berisi seperti motonya almarhumah majalah Minggu Pagi di Yogyakarta, buku yang mirip buku saku dengan mudah dibawa-bawa dalam kantong jaket akan menjadikan buku ini rujukan bagi penulis cerita pendek maupun novel pemula. Sungguh bagus jika guru-guru bahasa Indonesia juga membacanya untuk melatih menyiasati membuat fiksi (syukur lagi kalau terbit di Koran atau majalah dan jadi buku, dapat untuk menambah panjang hidupnya tungku di dapur dalam bulan itu, yang kata Prof. Winarno Surachmat: gaji sebulan habis sehari dan mengajar di kandang ayam!) Jarang-jarang ada koki membuka rahasia dapur selugas Seno, biar itu Putu, Linus dan semua penulis yang pernah mengungkapkan cara menulis dalam bukunya Pamusuk Eneste Proses Kreatif, tetap tidak selugas dan setelanjang Seno yang sedang berkobar “dendam” atas fakta-fakta yang difiksikan atau sebaliknya di negeri yang tercinta dengan cap NKRI tanpa dapat ditawar itu. Nyatanya ……
Sebagai pembaca yang saat Dili jadi topik pembicaraan tidak pernah terlintas dalam mimpi untuk mencermati, maka buku ini sebagai pengantar menuju sikap abai pada peristiwa yang “mengerikan dan menjijikkan” dari sebuah bangsa yang berbudaya adi luhung: Pembunuhan manusia tanpa dosa sebagaimana tragedi 1965 maupun “penyembelihan atan pembantaian” nyawa dari peristiwa yang lain sepanjang sejarah bangsa ini. Terima kasih juga untuk cerita Seno yang berlatar belakang Mei 1998, karena satu-satunya pengarang yang dengan lugas seperti laporan pandangan mata seorang wartawan (atau Batman?) tentang sebuah kekejian, pembaca dengan mudah memamahi cerita yang kelabu itu dari cerita pendek “Clara” lain tidak!

Bogor Jan 06

Tidak ada komentar: