Minggu, 20 Januari 2008

MEMBANDING TIGA SAJAK


MEMBANDING TIGA SAJAK SAPARDI DJOKO DAMONO YANG SEWAKTU
DENGAN TIGA SAJAKKU


Sapardi Djoko Damono (Duka Mu Abadi)
Cunong N. Suraja
SAAT SEBELUM BERANGKAT
PENGUBURAN
mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata di antara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama

sampai tak ada yang sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti
langit bersyal warna hitam meluruhkan bunga
menabur pada batu nisan hitam
dengan dasi hitam lekam (legam?)juru kunci menuntun
kuda berbulu hitam menguak semak dan membaringkan
tubuh kaku dan putih, pada rahim bumi
BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH
UPACARA TERAKHIR
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
dengan lembut diletakkan untaian bunga melati
di pintu yang mungil yang menganga menyilakan
kaki ramping yang bagai tubuh leli
lembut sapa angin pagi yang atis
dan dengan sendu pepohonan menggoyang rerantingan
dan berguguran bunga berwarna pucat
serta tujuh helai daun terpelanting di atas bumi yang basah
SEHABIS MENGANTAR JENAZAH
PENGEJARAN
masih adakah yang akan kautanyakan
tentang hal itu? Hujan pun sudah selesai
sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap
di bawah bunga-bunga menua, musim yang senja

pulanglah dengan payung di tangan, tertutup
anak-anak kembali bermain di jalanan basah
seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya

masih adakah? Alanglah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba
dalam kelelapan angan membius
dia tarik terali kuda hitam yang mencongklang
menembus kabut pagi yang pekat untuk menemukan
inti dari hidupnya yang cuma tersenyum dengan asri

Dalam proses selalu dimulai dengan menyerupai, menyamakan, terimbasi, menjiplak atau menanggapi sampai pada yang dikatakan pengikut setia yang buta dengan menggunakan kacamata kuda. (Sebuah proses selalu bermula dari meniru bukan menjiplak, karena dalam tiruan ada kemiripan bukan yang dikenal dengan istilah copy – paste yang tentunya akan menjadi sama persis atau pantulan cermin. Meniru masih dalam proses kreatif karena masih jauh dari kesamaan. Meniru telah dilakukan oleh anak Adam sejak pembunuhan pertama kali dengan peristiwa dua ekor burung yang saling berpatuk-patukan dan menyebabkan kematian yang satu dan kemudian yang lain menguburkannya.) Maka tidak mengherankan kalau kejadian sajak kembar dengan kualitas yang beda akan muncul bertebaran di sembarang terbitan puisi baik di media cetak dan elektronik maupun yang membeku dalam bentuk buku antologi.
Peristiwa itu juga terjadi pada sajakku yang terbit 1976 di koran Yogyakarta bernama Berita Nasional atau Bernas. Sajak itu muncul ketika terjadi upacara pemberangkatan jenazah di depan rumah. Para pelayat atau tamu berdiri di halaman rumah dibagikan gula-gula sedang pemimpin upacara mengucapkan kata terima kasih dan ucapan bela sungkawa. Cuaca mendung lewat jam sepuluh pagi. Banyak pelayat berbaju hitam. Payung dikembangkan memayungi keranda yang tertutup kain hijau dengan tulisan huruf Arab dengan warna keemasan. Tiga sajak Sapardi dalam buku Duka Mu Abadi yang disebut oleh Teuw dalam esainya sebagai sewaktu terbayang dengan jelas suasananya. Melarutnya suasana itu terus menempel hingga lahir tiga sajakku dalam satu hentakan mesin ketik walau kadar warna hitam cukup menguasai ketiganya. Suasana mendung, Harapan yang ditinggalkan si mati. Yang agak berbeda dengan Sapardi yang sesuai dengan judul buku kumpulan puisi: teramat muram. Sajakku masih menyisakan asa yang cerah dengan larik:
menembus kabut pagi yang pekat untuk menemukan
inti dari hidupnya yang cuma tersenyum dengan asri
Bandingkan dengan bait sajak Sapardi:
... Alanglah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba
Tampak nyata pengaruh suasana dalam sajak Sapardi tidak sepenuhnya menguasai suasana sajakku. Kemudian simak tentang panjang bait sajakku cukup dengan satu sedang Sapardi memerlukan dua bait bahkan tiga pada sajak ketiga. tampak pengalaman batin Sapardi yang komplit sedang sajakku hanya menyentuh pemandangan kasat mata. Tidak menukik sampai pada kedalaman hidup yang tampak pada baris:
Waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti (sajak 1)
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya (sajak 2)

seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya (sajak 3)

Bandingkan dengan naifnya sajakku pada bait penguncinya:

langit bersyal warna hitam meluruhkan bunga
menabur pada batu nisan hitam (sajak 1)

di pintu yang mungil yang menganga menyilakan
kaki ramping yang bagai tubuh leli (sajak 2)

dalam kelelapan angan membius
dia tarik terali kuda hitam yang mencongklang (sajak 3)

Bagaimanapun juga kepekaan dan pengalaman batin membendakan kadar sajak penyair yang lebih dulu berkiprah dibandingkan dengan penyair yang mulai menulis dan banyak membaca sajak pendahulunya. Sajak Sapardi Djoko Damono dan Subagio Sastrowardoyo merupakan sajak yang bagus untuk dibaca penyair pemula yang sedang ranum-ranumnya untuk membuahkan percikkan bebungaan imajinya.
Semoga bermanfaat.

Bogor seusai hujan sore di hari paskah 2007.

Tidak ada komentar: