Jumat, 30 November 2007

WAWACARA DENGAN PENGEMBARA NEGERI SENJA

WAWACARA DENGAN PENGEMBARA NEGERI SENJA,
[SENO GUMIRA AJIDARMA (2003) Pemenang Kathulistiwa Award 2004 jenis fiksi]

Membaca roman Seno Negeri Senja (2003) anda akan menjumpai seorang pengembara yang selalu bersedih dan memburu senja seperti tokoh tua di dalam novel Hemingway The Old Man and the Sea yang memburu ikan ditengah lautan, sedang tokoh Seno memburu senja di lautan pasir atau padang pasir (kebetulan ada sedikit celah info lokasi tentang kenangan Timbuktu, kota di tepi Gurun Sahara.)
Tokoh pengembara ini belum terlalu tua dan tidak muda lagi, tak setua pelaut Hemingway. Tetapi pengembara Seno punya masa lalu yang selalu menguntitnya lewat nama perempuan Alina dan Maneka yang dapat dilihat pada Bab 24 “Antara Alina dan Maneka”. Pengembara itu selalu berjalan, bergerak dan tidak pernah kembali ketempat semula: “Aku selalu berangkat, selalu pergi, selalu berada dalam perjalanan, menuju suatu tempat entah di mana, namun … sampai sekarang belum pernah kembali.” (halaman 3) Dan di ujung kisah pengembara itu terus berjalan tanpa takut tersesat walau tanpa kompas dan peta:”… Aku melanjutkan perjalanan menembus badai pasir yang masih juga bertiup dengan sangat kencang. Aku tidak membawa kompas dan peta karena aku memang tidak pernah peduli perjalananku akan sampai ke mana. … Aku berjalan dan terus berjalan …” (halaman 229).
Kebetulan saat itu tokoh pengembara setelah menembus badai pasir rehat disebuah warung makan-minum. Dengan bahasa antar bangsa saya sapa dan dengan pertanyaan-pertanyaan standard.
Pewawancara: Hai pengembara! Saya seorang wartawan bebas ingin berbincang sejenak dengan anda sambil menghirup wangi masakan dan mengunyah kudapan. Bersediakah?
Pengembara : Apalah aku ini, sahib? (jawabnya terbata dengan bahasa antar bangsa yang kagok). Aku ini seorang pengembara, cuma seorang musafir lata yang tiada bersanak dan tiada berkawan, pergi dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa tujuan – sia-sia mencoba menghilangkan kesedihan.
Pewawancara: Boleh tahu nama?
Pengembara : Sebut saja pengembara tanpa nama, kalau pendekar silat Bu Beng Cu. Pelaut tua Hemingway itu punya nama dan julukan ya? Maksudnya seperti itu? Salao orang yang sial[1] dan bernama Santiago. Saya tidak punya sebutan dan lupakan nama itu. Anda ingin bertanya tentang pengembaranku, bukan? Ada negeri yang selalu senja tak pernah bergeming dari kemuraman dan ditengah badai gurun serta penduduknya yang selalu berselubung. Beralasan memang karena debunya itu: wuih!
Pewawancara: Jadi anda pernah singgah di Negeri Senja dan menarik untuk dibicarakan. Sebagai petualang , tentunya dapat disamakan dengan pengalaman tokoh orang tua pada novel Putu Wijaya Stasiun yang juga memenangkan sayembara mengarang roman DKJ 1975 sebelum diterbitkan, orang tua yang siap berangkat naik kereta api dan berbicara tentang problemmatika perkeretaapian Indonesia yang sering terlambat, penumpang naik kereta salah jurusan, pelayanan penjualan karcis, perawatan peturasan atau kamar kecil dan perawatan stasiun dalam penerangan maupun kebersihan. Tokoh orang tua dalam Stasiun adalah lelaki yang berumur.
Pengembara : Aku hanya akan membuktikan cerita pedagang adanya Negeri Senja: Begitulah, suatu ketika dalam perjalananku tibalah aku di Negeri Senja, yang seperti tiba-tiba saja muncul di hadapanku setelah menyeberangi sebuah gurun selama dua minggu. Dari jauh Negeri Senja cuma bayangan hitam tembok-tembok beku perbentengan yang tua.
Pewawancara: Jadi negeri itu tiba-tiba jatuh di hadapan anda karena anda tak berkompas dan berpeta.
Pengembara : Begitulah! Sebelum aku masuk wilayah aku telah dicegat serombongan penduduk dengan sapaan yang ramah dengan penuh harapan. Ternyata mereka menunggu penunggang kuda dari selatan. Padahal saat itu aku naik onta dan dari arah timur. Betapa bodohnya manusia jika menunggu harapan sang penyelamat, sudah kehilangan arah dan kurang wawasan. Layaknya mereka manusia dalam drama Menunggu Godot. Mereka terus menunggu dan menunggu di balik gundukan pasir hasil kerja temporer badai gurun. Sebuah sambutan yang menimbulkan misteri. negeri macam apa Negeri Senja ini. Negeri tanpa harapan? Negeri yang muram tanpa masa depan? Atau negeri yang sedang kacau?
Pewawancara: Bagaimana pemandangan atau katakanlah situasi dan kondisi Negara itu dari jauh?
Pengembara : (merenung, mengusap janggutnya, geleng-geleng kepala) Aku bukan seorang penulis, namun ketika aku ingin bercerita kepadamu tentang Negeri Senja, aku terpengaruh …
Pewawancara: (memotong karena menunggu lama Pengembara mencari kata yang tepat) cerita Mochtar Lubis Twilight in Jakarta?
Pengembara : (tak acuh meludah di lantai) Kesalahan seorang penulis adalah memandang dunia ini sebagai suatu cerita. (jeda sejenak menyruput minuman dan menggigit kudapan, mengunyah perlahan, mencari-cari rokok dan korek pemantiknya) Padahal Negeri Senja bukanlah suatu cerita, Negeri Senja adalah suatu dunia, cara bercerita macam apapun akan sulit mewakilinya.
Pewawancara: (meminta juru kamera mengambil beberapa jepretan wajah pengembara) Adakah anda membuat catatan harian atau jurnal perjalanan misalnya?
Pengembara : (menemukan rokok dan pemantiknya, memasang rokok dan membakar ujungnya dengan pemantik, menyedot dalam-dalam kemudian dengan puas menghebuskan asap ke langit-langit rumah makan minum) Memandang dunia sebagai suatu cerita, artinya aku dapat menceritakan segala-galanya, padahal aku ingin menceritakan semuanya. Terlalu banyak hal juga belum terlalu jelas bagiku, dan aku tidak mempunyai kesempatan melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya …
Pewawancara: Jadi anda sudah mempersiapkan laporan atau draft cerita atau scenario?
Pengembara : Aku tidak pernah tahu Negeri Senja itudengan pasti, baik lokasi, sejarah masa lalunya yang telah dibakar oleh Ratu Tirana yang cantik tetapi buta. Yang katanya waktu mudanya adalah seorang gadis yang pandai dan sialnya diperkosa oleh pasukan preman di Negeri Senja yang dikenal dengan Komplotan Pisau Belati. Memang seperti cerita saja!
Pewawancara: Bagaimana dibandingkan dengan negeri di timur jauh di antara dua samodra dan benua besar yang dikenal dengan nama Nusantara?
Pengembara : Oh, negeri itu! Negeri yang penuh bencana kemanusiaan. Negeri yang mirip dengan Negeri Senja, menculik anak bangsanya yang kreatif dan berani, membunuhnya dan menghilangkan jejaknya. Negeri yang semuram Negeri Senja. Kehilangan kepercayaan diri sebagai bangsa yang besar karena jatuh pailit dililit hutang.
Pewawancara : Anda sedang membuat refleksi politik dengan pengembaraan anda karena rasa sakit dan kecewa serta kesedihan yang berlarut-larut? Sampai ujung mana anda akan selesai?
Pengembara : Dalam perjalanan seorang pengembara bercerita bahwa tidak ada apa-apa di Negeri Senja selain kemiskinan, kejahatan, dan penindasan. Matahari tak pernah terbenam tersangkut di cakrawala. Pengembara itu meyakinkanku bahwa Negeri Senja itu ada bukan khayalan fatamorgana di gurun.
Pewawancara: Jadi Negeri Senja itu antara ada dan tiada. Apakah anda akan kirim pesan pada Alina atau Meneka?
Pengembara : (menguap dan melempar puntung rokok dengan ceroboh ke lantai setelah membunuh bara dengan menggoceknya di papan bawah kursinya) Sampai jumpa dan tulis di surat kabar anda salam kangen saya pada Alina dan Maneka. Pada pembaca jika ingin membuktikan lokasi Negeri Senja harus dengan melakukan pengembaraan di gurun, ketemu pengembara lain dan pedagang garam. Kalau kebetulan ketemu aku, dengan senang hati aku menjadi pemandu, dengan catatan Negeri Senja telah porak poranda seperi Irak yang di bom Bush demikian juga pegunungan Afghanistan yang porak poranda karena ulah kebijakan Bush presiden Amerika Serikat yang sangat rasis itu! Presiden yang berhati robot seperti Anakin di Star Wars yang buta mata buta hati, karena memang sudah jadi pasukan robot. Robot yang mau menelan anak kandungnya sendiri!
Pewawancara: Selamat istirahat, sampai jumpa nanti.
Senja jatuh dan malam menurunkan gelapnya. Pengembara itu menguap dan mohon diri untuk istirahat di kamar penginapan yang tersedia di rumah makan minum itu, sambil berjanji akan ketemu esok hari sebelum meneruskan perjalanan.
Boo, Des 05
[1] the old man was now definitely and finally salao, which is the worst form of unlucky, …

Tidak ada komentar: