Jumat, 23 November 2007

ANOMALI

ANOMALI DALAM KUMPULAN CERITA PENDEK ADAM MA’RIFAT DANARTO

Anomali merupakan istilah dalam ilmu alam atau fisika tentang prilaku air pada titik nol derajat Celsius membeku menjadi batu padat dan kembali menjadi benda cair manakala titik beku itu telah melewati angka minus empat derajat Celcius. Meminjam istilah ilmu alam ini seperti juga Subagio Sastrowardoyo dalam membicarakan persajakan yang mengulang gaya pengungkapan maupun bentuk dengan istilah biologi: atavisme. Pada cerita-pendek (cerpen) Danarto yang terkumpul dalam Godlob, Berhala maupun Adam Ma’rifat (1982) nampak anomali dalam arti penyimpangan prilaku sebuah cerpen yang tidak seperti cerpen yang biasa ditemukan pada lembar koran minggu pagi maupun majalah hiburan yang terbit mingguan, dua mingguan maupun bulanan dan berkala (kala tengah tahunan maupun tahunan) yang dalam istilah seorang pakar cerpen dikatakan bacaan yang terselesaikan dibaca dalam sekali duduk untuk tidak mengatakan cerpen sebuah karya selingan sambil menunggu kereta, pesawat, bis atau angkutan datang, giliran membayar pajak atau utang bank maupun ketika di ruang tunggu pasien sebelum dipanggil.
Dari enam cerpen yang termuat dalam kumpulan cerpen Danarto: Adam Ma’rifat dengan gamblang akan terlihat ketidaklaziman dari sebuah judul cerpen yang merupakan partitur yang digunakan dalam membaca nada sebuah pagelaran musik dengan beberapa huruf ngung dan cak serta titik-titik yang terserak di antara baris bar nada partitur. Cerpen ini juga memulai dengan sebuah gambar (di halaman 38) yang terfokus pada bentuk busi yang menyunting sekuntum bunga (seperti mawar dan mirip dahlia ataupun aster – hairbrush – besar kemungkinan kembang sepatu!) diikuti deretan kata ngung (36 kali diselingi dengan “ng” kemudian enam “ngung berlanjut dengan NGUNG tujuh kali seakan sebuah pola alat bunyi yang ditabuh) diselang-seling dengan garis nada partitur musik tap hanya ada deretan angka maupun titik-titik yang berserak. Pada halaman berikutnya (kalau kita tidak bicara paragraf layaknya sebuah susunan kalimat menjadi paragraf) kata cak yang membentuk topografi segi tiga bersambungan dengan bentuk belah ketupat kemudian berubah kata ngung dihubungkan dengan titik-titik berpola topografi belah ketupat ditambah dengan deretan kata klst membentuk segitiga dan dibuntuti kata cak semacam ekor layang-layang diselingi kata
kur
cak
sebagai
musik
penyatu
sebuah
tarian
sakral
Danghyang
Jaran[1] (halaman 43)
Baru muncul sebuah alinea yang menerangkan sebuah alat yang tergambar (di halaman 44 yang dinamai pesawat pengurai (SMPVTU). Sampai pada batas ini terbayang sebuah sajak panjang dengan topografi dan kata yang berwujud “senggakan” – interjection yang dikenalkan 23761 dengan sebut puisi mbeling atau lugu(lalu apakah ini juga dapat disebut sebagai Cerita Pendek mbeling?).Cerita ini ditutup dengan topografi kalat cak yang melingkar, walaupun dalam alinea dan percakapan sebelumnya tersirat uraian dan ungkapan sebuah cerita upacara di sebuah pulau (Bali?) yang peserta upacara terhipnotis atau terhisap trance mengeliling alat pesawat pengurai: SMPVTU! Jadi ini bukan puisi!
Anomali yang lain selain cerita pendek yang dapat dikenal dengan kaidah pokok sebuah cerita dengan pembagian alinea maupun pemaparan cerita yang runut adalah adanya pengulangan alinea pada cerita “Bedoyo Robot Membelot”, tiga alinea awal ditulis sama, kemudian diikuti dengan kalimat pertama yang tak lengkap pada alinea ke empat. Cerita tentang guru tari yang sudah berusia 87 tahun ini berakhir pada penari bedoyo asuhannya yang masih gadis di bawah tujuh belas tahun mengilang dibawa kabut asap yang muncul dari dupa wangi cendana. Tarian itu juga menampilkan gerakan baru dengan tabuhan gamelan yang tiba-tiba semua penabuhnya tertidur. Cerita ini dikunci dengan pengingkaran Danarto bahwa semuanya terjadi biasa-biasa saja seperti zaman order baru membunuh dan orang hilang dianggap sebagai peristiwa normal dengan senyum simpul orang hilang dianggap hajatan minum kopi pagi hari dan tampak pada alinea terakhir:
“Ibu-bapak dan saudara-saudara yang hadir malam itu dalam kondisi yang sebagus-bagusnya. Mereka yakin bahwa dalam undangan pesta perkawinan itu tak pernah ada dicantumlah acara tarian.” (halaman 71)
Anomali cerita yang lain nampak pada cerita pendek yang digunakan sebagai judul buku: Adam Ma’rifat. Cerita ini hanya terdiri satu paragraf atau alinea. membaca cerita atau dongeng Danarto tentang Adam Ma’rifat nafas kita dikuras habis hingga pada titik ujung cerita diseling dengan satu barisan kata “tanah” sejumlah 43 baris yang terdiri dari kata 10 “tanah” setiap baris. Cerita pun berloncatan seakan kita menyeberangi sungai berbatu, jika kita kurang siaga akan terpeleset tergelincir masuk air yang deras. Seperti teroris yang meledakkan bom di sebuah terminal kereta api yang sibuk ujung cerita itu meledakkan nafas pembacanya dengan ”... Adam Ma’rifat, genangan selokan, kursi pemerintahan bahtera melaju terus, bank-bank meledak siapa kekasih Tuhan, yang cemara tak berderai, yang tupai tak lompat, Adam Ma’rifat, gendut karung di gudang, gendut di meja-meja, gendut tak bisa lompat bahtera melaju terus, hotel-hotel meledak, pabrik-pabrik meledak, kantor-kantor meledak tempat-tempat hiburan meledak, desa-desa meledak.” (halaman 27)
Membaca dongeng Danarto bukannya terhibur tapi mengernyitkan dahi untuk membuat sebuah pertanyaan yang beruntun. Cerita apa ini? Legenda? Mitos? Laporan pandangan mata? Apa ini sebuah tesis tentang Jangka Jayabaya yang masyhur dengan zaman edan? Dan memang beberapa tahun setelah Danarto usai menuliskan dan mencetak dongeng ini tanah air Indonesia dan dunia terguncang tingkah teroris yang dengan santai meledakkan bom demi bom dengan peristiwa yang paling spektakuler pada tanggal 9 September 2001 penabrakan dua pesawat komersial pada dua gedung pencakar langit yang bernama pusat perdagangan dunia yang kemudian runtuh rata dengan tanah sebagai mana 10 kata tanah Danarto.
Dalam membaca dongeng (cerita pendek) Danarto tidak hanya mengandalkan pemahaman struktur bahasa, maupun aliran pikiran normal, karena kadang-kadang (untuk menghindarkan kata selalu dan sering!) Danarto menumpuk sebuah percakapan pada bagian dari cerita pendek itu yang kadang tidak nyambung (itulah si Joko Sembung bawa golok!) mengingatkan dialog (percakapan) naskah drama Putu Wijaya yang menjadi langgan pemenang penulis lakon sayembara yang dilaksanakan oleh Dewan kesenian Jakarta tahun tujuh puluhan di antaranya “Aduh”, “Dag Dig Dug” dan naskah lakon yang dipentaskan semacam “Lho”, “Zat” dan “Aum” untuk menyebutkan beberapa judul.
Jangan dikira kita tidak mendapatkan apa-apa dari dongeng Danarto, karena ada beberapa yang bisa membaca peristiwa masa depan seperti teror bom Bali dengan judul “cak ngung ngung “ di gambarkan sebagai partitur musik. Danarto bernyanyi tentang anomali tingkah manusia yang cinta damai menjadi cinta kebutralan dan pembunuhan masal karena titik jenuh demokrasi yang bermartabat telah dilampaui dengan letikan peristiwa 11 September 2001 yang ditindak-lanjuti oleh Bush dengan menyerbu Afghanistan dan Iran secara bara-bara dan membabibuta dan benar-benar buta nurani karena nafsu balas dendam yang dilandasi dengan pemraktek demokrasi ala koboi Texas yang menganggap manusia hanyalah ternak berakal. Benar-benar titik kritis pembekuan nurani mulai mencair mengikuti ulah air saat titik beku melampau minus empat derajat Celsius. Danarto yang pelukis Jawa telah melampau titik anomali kreatifnya sehingga batas beku dan cair jadi membias dalam sebuah campuran (blend and mix) yang padu antara alur cerita paragrafis dan alur cerita grafis dan filmis. Benar-benar anomali!
Dari kumpulan Adam Ma’rifat hanya menyisakan cerita pembuka dengan judul Mereka toh tidak mungkin Menjaring Malaikat, Megatruh, dan Lahirnya sebuah Kota Suci yang secara wujud menunjukkan dongeng biasa tanpa penampilan yang neko-neko tetapi anomalinya nampak pada isi cerita dan cara bertutur Danarto yang tidak bercerita secara normal tentang kehidupan nyata dalam fiksi tetapi sebuah kehidupan entah-berentah yang penuh anomali. Jadi bukan dalam wujud tetapi dalam isi.
Sekali anomali Danarto terus membuncahkan kondisi anomali itu hingga pada gambar kulit buku yang menunjukkan binatang (wujud kuda) berkepala manusia perempuan cantik berambut panjang mengenakan mahkota dan bersayap dengan warna pelangi. Penampakan ini dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai kendaraan Nabi Muhammad ketiak melakukan perjalanan malam ke langit yang dikenal dengan Isyra’ Mi’rad. Dongeng purba yang senantiasa perlu digali dan dimaknai secara arif pada masa kini dan bukan sekedar anomali!
[1] Jaran adalah kata Bahasa Jawa yang berarti kuda

Tidak ada komentar: