MENGULITI PUISI
PUISI SAPARDI
kucabuti segala kata hujan hingga penyair kedinginan
apalagi setelah hujan tak bisa meludahi malam
makin pualam wajahnya makin kelam sorot matanya
kemudian merenangi akuariumnya yang sunyi
sampai kutemukan sepotong dukanya makin mengabadi
kukutungi semua kata yang berbicara tentang bulan Juni
hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang
yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah
yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas
kureka seperti apa jika semua puisi Sapardi kuhitami
pastinya tinggal sehelai kartu pos dan lukisan cat air
yang berbicara tentang cinta yang tak lagi sederhana
sebab ternyata cinta bukan segalanya di dunia fana
PUISI SUTARDJI
seperti juga puisi Sapardi kukuliti milik Sutardji
kucabuti kepala dan huruf besarnya
kuhapus semua huruf yang liar mengubah warna kata
kuhitami jejak jalan keluar dari mesin pintar pengolah kata
seperti puisi Sapardi juga semua kata puisi Sutardji kusuruh harakiri
mereka saling menusuk seperti semut hitam saling membunuh
selayaknya desa yang berperang hanya merebutkan kata cinta terlarang
seperti para tentara Israel dengan pongah membombardir penduduk desa
yang tinggal anak-anak dan sejumlah perempuan renta
juga Amerika Serikat yang dermawan murah hati menjatuhkan bom napalem
di bumi Vietnam Selatan, Afghanistan, juga Irak
demikianlah sajak dan puisi Sutardji tinggal tanda baca saja
MATA PISAU PUISI SAPARDI
kata berujung matanya menetak urat nadi
menggurat dalam daging dan mengiris syaraf
kata itu menusuk kiri kanan syaraf yang terbuka
melelehkan aroma bunga musim semi
dan sebuah kartu pos menggambarinya tentang seseorang
yang berdiri dengan jaket tebal memandang ke dalamnya
PUISI SUBAGIO
dewa mabuk mati di planet menyiulkan keroncong Motinggo
makin akrab kematian itu seakan mega berarak di ranjang
membungkukkan patah punggung tapi tepat saja luput terindu
pada sepi yang meninggi seakan Chairil Anwar di senja pelabuhan kecil
iseng dengan rohnya dan meluncur ke dalam lembah Kilimanjaro
sebuah daerah perbatasan antara bawah sadar dan mimpi yang tak terbantahkan
layang bayangan dan matahari Sapardi yang berebut mata pisau
PUISI RENDRA
demikian juga puisi Rendra sama halnya puisi Sapardi dan Sutardji kupenggali kalimat demi kalimat yang memberontak pada penguasa zalim dan membela si miskin
semua panorama senjakala dan suasana di stasiun bawah tanah di New York kuhitamkan dengan tinta spidol yang beraroma alkohol memabukkan dan meracuni udara kota
puisi Rendra jadi seperti ayam trondol tanpa bulu, gundul tanpa rambut dan botak mengkilap sehingga kehilangan pesona sajaknya
Rendra merunduk dalam belantara kata-kata seperti ketika meringkuk dalam tahanan di jalan Guntur tangannya selalu mengepal meneriakkan perlawanan mirip Wiji Thukul dengan kata lawan yang menghilangkan manusiawinya hingga sekarang
Rendra diam membisu ketika kutawarkan sebatang lisong dan jagung yang teronggok di sudut sekolah tempat guru dan murid bercengkrema melampiaskan hasrat berkuasa dan menangisi usianya yang sia-sia dalam sebuah pidato kebudayaan
PUISI GOENAWAN MOHAMAD
yang satu ini penyair yang bagai guci antik yang retak dalam dingin tak tercatat dan menuliskan kata Sarajevo penuh lalat dan ketidakadilan selayaknya Pulau Buru tempat tapol diperam membajak tanah dan tak lagi berhubungan dengan sanak kerabat maupun dunia yang senantiasa berputar
yang satu ini memang seorang penulis catatan pinggir yang tak mau minggir dari jabatan tertingginya di dunia tulis menulis sehingga menutupi kanal-kanal prioritas penulis muda untuk berkiprah dan menorehkan puisinya di sebuah kalam
yang satu ini senantiasa menyuarakan suara bawah tanah yang menguak ketidakadilan dan kesenjangan budaya antar bangsa
PUISI TALI SUTARDJI
bait puisi melingkari jalan nafas menjerat nadi
merobek mesin kawin yang terdiri dari patahan huruf
PUTU WIJAYA DICABOK PUISI
pergi kataku ke stasiun dan keok oleh yel dan rel juga shit yang mengentuti lho
dalam repertoar seorang kakek yang selalu mengatakan tidak dalam perjalanan dalam bemo dan digantung di depan stasiun kota yang tiba-tiba malam tak sampai tiga bulan
huruf-huruf memberontak menolak memberi makna kata
memburu mimpi penyair dan menyalip di bukit cinta
kemudian kepala itu digosok-gosokan ke dinding bukit berbatu
kemudian bukit berbatu itu bersimbah darah
kemudian darah itu memecah melepaskan diri dari makna huruf
kemudian roboh di atas panggung dan kembali dalam bentuk huruf mesin ketik
penyair dirubungi berhuruf-huruf tanpa berkata-kata yang bermakna
GAS PUISI GOENAWAN MOHAMAD
rima sajak menyesak ke peparu melumpuhkan nadi
menggocangkan dunia kata-kata menjadi dunia guci retak
lalat-lalat berbaris menuruni panggung seusai Naga Taksaka menggigit apel
menusukkan racun bisanya ke tubuh raja lalim Parikesit
yang selingkuh dengan membunuh istri naga
yang memburu keburu-buru membunuh kijang bunting
yang memutuskan perkara dengan niat menguasai harta
yang tidak berani pergi berperang memerangi angkara yang menyengsarakan penduduk
yang menangis setelah dikutuk akan mati digigit ulat yang sembunyi dalam buah jambu
(jadi bukan apel seperti dituliskan dahulu oleh penyair Amerika Serikat!)
KURSI RENDRA LISTRIK PUISI
loncatan aliterasi menyengat di ujung nadi
dan jatuh dalam pelukan malam tanpa bulan Atmo Karpo
bulan khianat menunggang kuda disabit cakrawala
sambil memainkan tambur jalanan sepasang angsa melintasi mega
biru bagai tinta tertumpah di atas seprei putih
dan Tuhan telah menyelinap dalam dadu para penjudi dan disuntik vitamin C
PELURU WIJI THUKUL
metafora menerabas jantung memecah nadi
menusuk jantung dari belakang panggung politik Soeharto
terkapar pada sejarah yang membuka kelopak bunga bangsa teraniaya
lawan atau kawan bagai smokel tak ada beda hanya cuaca yang membalut
dalam cerita badut di kancah ulang tahun anak menjangan
lari dan kau kutembak dengan puisi yang telah mati di tangan seorang istri
PISAU PUISI AFRIZAL
kata berujung matanya menetak urat nadi
membuncah jadi hujan tak beraturan dalam kulkas
daging-daging berunding tentang petaka lampu mati dalam sebuah mall
atau supermarket yang penuh pengunjung menguliti kulit masing-masing
menjadikan soto kikil betawi yang berlemak duren monthong
dan Afrisal menyanyikan lagu hujan yang liris di kasir nomer tujuh
JOKO PISAU PINURBO
kau cari kilat tajam tunggumu mengiris tipis angin sejuk dari kutub selatan bulan Juni
saat celana basah dicuci ibu di tepi kali Bekasi berkibaran di langit tak berawan
biru meruang dalam surat cinta maupun undangan penganugerahan kebudayaan yang retak karena bangsa yang memilih berbeda negara
golok yang kau kibas-kibas memotong huruf jadi kehilangan bunyi
CHAIRIL ANWAR PISAU TUMPUL
perlahan urat leher itu kau lewati dengan ujungmu yang pipih tipis tajam mengiris
dan jadilah penyakit kelamin yang membakar sate daging kambing tanpa jenggot
perlahan kau sabet celana dalam tetangga yang basah seakan hulk yang mereda emosi dan kembali menjadi manusia normal yang melanjutkan hidu seribu tahun lagi sambil mencari rahasia raksasa hijau yang dipanggil hulk
PISAU PISANG EMHA AINUN NAJIB
kata berujung kalimat matanya menetak paragraf urat nadi
dalam kenduri semalaman memata-matai perjalanan hari yang luruh
kata yang diterjang dalam radio delta yang memancar setiap saat dengan ludah petuah
tanpa kata sakti maupun lilit penyair yang memontes pagar bambu pak kyai kanjeng
pisang itu ditendang ke gawang lawan dan gooooooooooooong ong ong koong
PISAU PAJAK PAGI LINUS SURYADI
kau cari kilat tajam hari kemarau tunggumu mengiris tipis angin sepanjang hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka mereguk sesisir Juni
tapi telah kau rebahkan regol kraton yogya yang megal-megol
dan langit biru menuntun Pariyem ke selangkangan zaman edan
PISAU KUTUSUKKAN PADA PUISI KORAN
perlahan urat leher itu menjulur sesulur kau lewat dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari jadi terang dan gelap
bencana itu mengendap-endap mencuri saat di sebuah kota mati
hanya batu, pasir gundukan batu dan remah-remah makanan sisa petualang tersesat
saat matahari terbenam dalam saku sang nabi palsu yang menyuarakan suara purna
di halaman muka koran terpampang puisi sekarat terkerat sesayat demi sesayat tiap kata yang tinggal sisa ditinggal mengungsi kata ke kota
dan pemenangnya adalah penyair tua yang suka wanita perjaka untuk dihisap intuisinya
PISAUMU KAUTUSUK DALAM RAHIM KATA
kata tajam berujung duri di matanya menetak pecah urat nadi
merayap di gigir hari yang penuh jelaga
angin merucat diri jadi prahara bersama topan badai merusak susunan kalimat dalam paragrap yang kacau ditinggal mesin ketik untuk mandi dan komputer yang sedang berenang dalam mimpi novelis menyusun batu-batu pijakan
PESAN PISAU PADA SUATU HARI
kau cari kilat tajam pucuk ilalang tunggumu mengiris tipis angin pagi bulan Desember di bumi Paman Agam sejuk dari kutub selatan mengirim bulan Juni dengan lagu musim dingin Seulin yang menatap jendela
kucoba menerjemahkan kata yang merucat jadi nyali dan kekuatan sihir yang meretas mimpi jadi bangkai-bangkai bergerak menuju goa-goa di bukit berbatu membeku dalam mall-mall dan juga toko makanan beku yang memucat tanpa cahaya matahari terpanah satria yang marah
dan ketajaman itu meleleh haripun redup berkerumun huruf tanpa baju memrotes mesin kata yang menelorkan kata baru dan bau
PISAU SEPI PAGI DI PERIGI
perlahan urat leher perawan itu kau lewat dengan ujungmu jari lentik yang pipih tipis tajam mengiris hari makin jelaga
dalam keadaan telanjang kata itu meloncati rel kereta dan menyebrang jembatan besi yang membara
dalam kembara yang tanpa jeda kata itu terus menggauli setiap anak bangsa yang mencoba mendekat pada batas pandang dalam gelap
polisi menangkapi setiap pengendara tanpa kepala memburu kota tanpa peraturan pasti
BENING MATA PISAU DALAM SAKUMU
kata berujung desah konsonan kalimat matanya membuhul malam-malam menetak paragraf jejak kaki melata urat nadi musim yang sembunyi di ketiak mega menyusuri tepi horizon dalam kabut
dalam talam terbaring diam sampai basi sama-sama makanan kucing di antara rak supermarket ramping berputar depan kaca mengikuti irama piano mengambang di antara luka-luka lebam biru karena gempa
cuma satu di padang belantara kera-kera menari selalu memalingkan laras senapan ke arah bunyi berkeretek cukup sudah menguliti kentang dipotong kubus dikukus ditaburi keju dan disangrai
PISAU MENDESAU BEIRINGAN HUJAN TEMARAM
kau cari kilat bayang gedung pencakar langit Jakarta tajam hari kemarau memasang jera tunggumu mengiris jantung jam tipis angin sepanjang celah lembah antara terang tanah hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka membengkak memenuhi lembaran peristiwa mereguk sesisir Juni basah membubuti serangga menuju masa tidur hibernations
aku bungkukkan badan menatap matahari dalam kubangan si angsa di tengah bebek bebek betina centil dia lahir tanpa sengaja pada saat malam pekat tanpa cahaya tegak membaca doa di tengah padang saat terik siang
AQUARIUM PISAUMU ABADI SAPARDI
perlahan urat leher itu berbaris di tepi sungai menjulur sesulur kau lewat pantai berpasir dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari pernikahan musim jadi terang dan gelap apalagi setelah hujan tak bisa meludahi malam makin pualam wajahnya makin kelam sorot matanya kemudian merenangi akuariumnya yang sunyi hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas
TALI TEMALI PUISI LELAKI TANPA ISTRI
bait puisi melingkari jalan nafas menjerat nadi
merayap di gigir hari yang penuh jelaga
hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang
yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas
kata tajam berujung duri di matanya menetak pecah urat nadi
yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah
siapa kita?
(swara yang menggema dalam kata tebing longsor di kota tua itu)
GAS PUISI SAPARDI
rima sajak menyesak ke peparu melumpuhkan nadi kata tajam berujung duri di matanya yang menangis setelah dikutuk akan mati digigit ulat yang sembunyi dalam buah jambu
menetak pecah urat nadi merayap di gigir hari yang penuh jelaga yang memburu keburu-
yang tidak berani pergi berperang memerangi angkara yang menyengsarakan penduduk
buru membunuh kijang bunting yang memutuskan perkara dengan niat menguasai harta
KURSI PUISI LISTRIK SUTARJI
loncatan aliterasi bait puisi di matanya menetak pecah urat nadi tentang kapal-kapal kertas melingkari jalan nafas menjerat nadi merayap di gigir hari yang penuh jelaga hingga tak lagi ada matahari senantiasa bercakap di belakang dan bayang-bayang yang berbisik lirih kata tajam berujung duri yang urutan penziarah menyengat di ujung nadi
PELURU SUTARJI PUISI
metafora kata tajam berujung duri di matanya menerabas bait puisi melingkari jalan nafas di belakang urutan penziarah menjerat nadi yang berbisik lirih merayap di gigir hari yang penuh jelaga hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang tentang kapal-kapal kertas
menetak pecah urat nadi yang senantiasa bercakap jantung memecah nadi
CAMBUK PUISI LINUS SURYADI
bunyi rima yang melengking lawan atau kawan bagai smokel tak ada beda hanya cuaca yang membalut dalam cerita badut di kancah ulang tahun anak menjangan membusuk pada nafas nadi
JERUK SUDIRMAN NIPIS DAN GARAM PUISI EMHA AINUN
menyayat menyusuri kulit dengan rasa asam bersanggatan
melukai langit yang terbuka biru dengan kepala penyair yang terbelah zaman
tampangnya penuh dengan bulu jenggot mirip hutan tropis
dewa bela tentara dalam perkara hak manusia yang terancam jeruk dan apel dalam surga
membanjiri mesin-mesin waktu dengan perasan sari yang menyegarkan langit terbuka koran berita pagi penuh bencana dan manusia alpa pada khalik dan memutuskan untuk mengakhiri hidup yang makin miskin arti dan dunia selebar layar televisi yang buram tanpa warna kecuali penyergapan perampokan pengeboman dan pesta bunuh diri dalam kecelakaan perawat maupun kapal laut kereta api dan pabrik-pabrik limbah sangat beracun pada sambaran kilat seteguk tegak sajak ditenggak keperkasaan sajak deviasi asa melesat di cakrawala saat pada bayang-bayang tegak sajak menggurat leher lawan atau kawan bagai smokel tak ada beda hanya cuaca yang membalut dalam cerita badut di kancah ulang tahun anak menjangan denawa berteriak: puisi mati!
(Mira Sato menulis dewa-dewa telah mati dengan akrab di puisi Subagio Sastrowardoyo)
ARWAN GUILLOTINE TUTI ARTHA
sambaran kilat pada bayang-bayang tegak sajak
membicarakan makan siang dan juga pesta di istana tentang perjanjian perbatasan
ada temaram senja dalam guci bergema pada liris pepohonan di pinggang Merapi
siapa berjalan menyisir pantai memunguti jejak Sapardi yang berjalan ke barat pagi-pagi?
PAGELARAN RACUN SUMINTA PUISI PALAGAN
seteguk tegak sajak ditenggak saat
mabuk pualam dalam paha ayam Kentucky dan ayam sayat Mac Donalds
kemudian merunduk dalam kuah bakmi Jawa yang becek dan berlemak berbaring dalam tumpukan saus kecap dan potongan sayur bayur
seteguk tenggak rencana peperangan dengan dewa langit yang mandi panah angin beterjunan lewat mega-mega dan hilang dalam sekam yang dibakar petani pada musim panen yang gagal
SASTRA HARAKIRI HERI LATIEF PEMBEBASAN
keperkasaan sajak deviasi asa melesat di cakrawala
menjadi raksasa Kublai Khan yang pendek gempal jenderal perang haus perang dan perempuan
pada pasar bebas pajak tetapi preman kampret memburu kutu kuret mencabik senja jadi jelaga dan dikenyit para penguasa lalim dan memenjara angan penyair dalam bejana internet yang bersemrawutan sulur-sulur kreasi yang liar
keperkasaanmu menjadikan dirimu sebuah lokomotif yang bergerak di Siberia tanpa penumpang
TIANG GANTUNGAN LELAKI PUISI
bandul jam bergoyang menakik puisi ide
memburamkan cakrawala dengan barisan huruf yang memberontak memberi makna
dasar penyair bodoh masih ngelesot mencari kebermaknaan kata yang diterjang dan menerjang sesamanya tali temali itu bagai layar kapal yang luruh ditinggal nelayan demonstrasi ke kota memburu racun air raksa sebuah pabrik swasta
KARET BUANG ASEP HUTAN KAMBOJA
Pandawa berlima merayapi hutan Dandaka: demokrasi!
Pandawa berlima menyusupi belukar menyembunyikan diri: pemilu!
Pandawa berlima menuju negeri Wiratha mengabdi: dosen yang patuh!
RAMPAN PANAH LAYUN SATRIA KALIMANTAN
menggurat leher lawan atau kawan bagai smokel tak ada beda hanya cuaca yang membalut dalam cerita badut di kancah ulang tahun anak menjangan denawa berteriak: puisi mati!
mengurat leher keluarga yang tak ada beda antara sapi, kebo, badak dan babi yang melenguh malam-malam meraih susu perawan yang bermimpi menjadi putri: puisi salon!
menggurat urat kemaluan yang makin terbuka tak terlapisi lagi moral dasar yang tak beda dengan hutan, pohon, tanaman bunga serta air hujan dan cucian rumah tangga: puisi pribumi!
LANDU BENCANA PUISI BALI UMBU
mencengkam cakrawala menggolak lautan merendam daratan mimpi penyair
melumpuri benda ruang dengan semua fatamorgana dan membiarkan mereka menahan ingin
mencengkam horizon yang tak berwatas dengan gapaian rambut panjang berkutu dan berwarna kelabu sambil mengepalkan tangan menjaring angin yang tiba-tiba lindap di ketiak pepohonan menyusupkan bisik berahi
mencengkam dada langit yang biru terbuka menyusup di kerimbunan rambut halus di dahi berkerut menghasut penyair muda untuk menumpuk dan membongkar laci yang berisi puisi kerinduan
MATINYA SANG JAZZ BENCANA PARFUM
bayi itu bernama Mira Sato!
merayapi dinding pagar kota membawa pedang sakti dari gunung Kitab Omong Kosong di wilayah Negeri Senja saat dipotong senja dimasukkan dalam surat pribadi yang telah diterima Sapardi dengan baik: senja itu lumer seperti es cream buatan rumah yang legit
LAUTAN RETAK KAPAL JILBAB DI SLILIT SANG DARMANTO
guci itu membisikkan rahasia Goenawan Muhammad
jangan kau simpan dalam kulkas yang tak tercatat suhunya
berikan pada raja lalim yang mati menelan buah jambu air yang bersemayam ulat
dan Sapardi dan Mira Sato mencatatnya dalam puisi telor
ketika Rahwana berniat main golf kepala Cianjur dan rojo lele meniup sangkala Kyai geng Suryamentaraman tentang hakikat mati bunuh diri seperti puisi yang mencoba muncul di koran lokal tanpa pembaca terbuang di tong sampah
siapa yang bermain gundu di cakrawala lemari es saat pongah hujan bulan Juni rintik?
HARAKIRI HUJAN BADAI TROPIS PUISI MATI
selingkuhan bumi mengeluh senyap Sapardi Djoko Damono
mencatat liris dalam tiang listrik ludah hujan dan telaga
dalam akuarium mata pisau itu berkilat mencari lehermu yang wangi
masih kucoba mencintaimu dengan sederhana tetapi musim sepi menepis angin
saat ulat itu mulai merayap masuk dalam jambu air yang di petik Goenawan Mohamad
ANGIN TERGANTUNG PADA ABDUL HADI WIJI MUTAHARI
meniup ubun-ubun nasib bergelora Abdul Hadi WM
dan angin tergantung di pertanyaan Syah Siti Jenar yang mengaku beraku satu yang aku ini semuanya
marilah masuk ke dalam telingaku dan kau akan mendengar nafasmu menuntun ke labirin kota yang telanjang dengan langit senja abadi milik petualang gurun
lagu itu mendayu sampai jauh seperti sauh yang jatuh dalam laut dalam: hilang gema!
PUZZLE IKRA NEGARA DALAM TOPENG KAYU
Afrizal Malna ke mana binatang di dalam kulkas besi itu kau jagal?
beritakan pada mereka kau hisap es yang menggumpal dalam arsitektur hujan dan kepala anjing yang masuk di sela gigi-gigi
Topeng yang kau pakai itu menutupi filsafat cakrawala yang rontok saat dingin drop tiba-tiba
kulkas itu berbaring di dalam dada perempuan yang kemarin kau tikam
RICKI DARI CIBINONG DI MANA BETTY CIAWI
dokter segera bunuh Rendra si raja singa
nafsu yang berbaring dalam lengannya menggeliat bagai ulat dalam jambu air
saat burung belibis melintas cakrawala anak-anak jin memainkan tambur jalanan dan sepatu itu telah berubah jadi sandal jepit yang belah
PESAN PUISI SEBELUM MATI KEPADA PENYAIRNYA SAAT AKHIR PIDATO PUISI PENGUBURAN PENYAIR
Ya, jangan kau bikin ini untuk yang kedua kalinya!
karena kata dan huruf tak seia-sekata
manapun berlalu menuju lubang semut
mewartakan ada hujan yang tersekap di dedaunan
ada burung camar yang mengusap mega menjadi sarang laba-laba
Ya, inilah saatnya aku menghadapmu dalam puisi yang tanpa huruf tanpa kata hanya tanda baca!
jalan lurus itu merajut lelana putra jejaka aking terbaring dalam keranda putih
semoga arwah ini mengetahui jalan pulang ke bumi: sialan!
puisi bunuh diri
PISAU (1)
kata berujung matanya menetak urat nadi
Seperti kata yang meloncat-loncat di hutan belantara pagi-pagi mencandai embun, kabut, angin dan daun kering. Seperti semut melata beriringan menuju liang dengan sabar membawa apapun yang dapat dimakan oleh ratu yang tak mampu bergerak kegemukan dan hanya menelur sepanjang masa. Seperti katak yang melompat ke dalam kolam, berenang memburu ikan kecil atau anak cucu serangga yang kebetulan lengah tak terjaga dan ditelan sebagai putaran lingkaran hidup.
Hidup berjalan seperti matahari yang meniti langit kemudian lindap di balik bukit meninggalkan warna senjakala yang merah tanpa mendung. Kakikaki beribu berjuta manusia setia dengan irama yang berbeda mengelilingi batu kotak hitam. Mulutnya berkemik memuji kebesaran ilahi. Ribuan burung dan serangga beterbangan mengitari lampu dan kemudian serangga hangus terbakar mati atau disambar merpati yang juga mengitari lampu-lampu kota yang jangkung.
PISAU (2)
kau cari kilat tajam tunggumu mengiris tipis angin sejuk dari kutub selatan bulan Juni
Seperti langit yang terbuka menelan segala amarah dan menikam segala tikam dan menyimpan semua misteri suami istri yang bertengkar merebutkan harta dan keturunan yang akan diceraikan setelah masa idah berhenti. Seperti perjalanan bintang yang mengikuti garis edar langit. Bintang yang melesat menjadi meteor. Bintang yang pecah menjadi benda langit. Bintang yang membengkak menjadi satelit. Dalam hitungan detik satelit-satelit terikat pada edar gravitasi setiap planet yang berputar bergasing
PISAU (3)
perlahan urat leher itu kau lewati dengan ujungmu yang pipih tipis tajam mengiris
PISAU (4)
kata berujung kalimat matanya menetak paragraf urat nadi
PISAU (5)
kau cari kilat tajam hari kemarau tunggumu mengiris tipis angin sepanjang hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka mereguk sesisir Juni
penyair itu menorehkan puisi dengan darah merahnya pada dinding rumah membelah cakrawala yang merekah saat matahari tergugah
PISAU (6)
perlahan urat leher itu menjulur sesulur kau lewati dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari jadi terang dan gelap
PISAU (7)
kata tajam berujung duri di matanya menetak pecah urat nadi
PISAU (8)
kau cari kilat tajam pucuk ilalang tunggumu mengiris tipis angin pagi bulan Desember di bumi Paman Sam sejuk dari kutub selatan mengirim bulan Juni dengan lagu musim dingin Senlin yang menatap jendela
PISAU (9)
perlahan urat leher perawan itu kau lewati dengan ujungmu jari lentik yang pipih tipis tajam mengiris hari makin jelaga
PISAU (10)
kata berujung desah konsonan kalimat matanya membuhul malam-malam menetak paragraf jejak kaki melata urat nadi musim yang sembunyi di ketiak mega menyusuri tepi horizon dalam kabut
PISAU (11)
kau cari kilat bayang gedung pencakar langit Jakarta tajam hari kemarau memasang jera tunggumu mengiris jantung jam tipis angin sepanjang celah lembah antara terang tanah hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka membengkak memenuhi lembaran peristiwa mereguk sesisir Juni basah membubuti serangga menuju masa tidur hibernation
PISAU (12)
perlahan urat leher itu berbaris di tepi sungai menjulur sesulur kau lewat pantai berpasir dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari pernikahan musim jadi terang dan gelap
TALI
bait puisi melingkari jalan nafas menjerat nadi
GAS
rima sajak menyesak ke peparu melumpuhkan nadi
KURSI LISTRIK
loncatan aliterasi menyengat di ujung nadi
PELURU
metafora menerabas jantung memecah nadi
CAMBUK
bunyi rima yang melengking membusuk pada nafas nadi
JERUK NIPIS DAN GARAM
menyayat menyusuri kulit dengan rasa asam bersangatan
GUILLOTINE
sambaran kilat pada baying-bayang tegak sajak
RACUN
seteguk tegak sajak ditenggak saat
HARAKIRI
keperkasaan sajak deviasi asa melesat di cakrawala
TIANG GANTUNGAN
bandul jam bergoyang menakik puisi ide
BUANG HUTAN
Pandawa berlima merayapi hutan Dandaka: demokrasi!
PANAH SATRIA
menggurat leher denawa berteriak: puisi mati!
BENCANA
mencengkram cakrawala menggolak lautan merendam daratan mimpi penyair
menggolak amarah keterbatasan pada alibi peristiwa dini hari
dan mimpi itu jadi catatan prasasti diri
PIDATO PENYAJAK
I
lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan mencintaimu dengan sederhana
meski kau tak pernah mencintaiku
tapi tak mengapa, sebab antara sengaja
dan tidak sengaja mencintai sama sekali
tidak ada pembatasnya. Kalau kau
bertemu denganNya, di padang menari benda langit berpendar berjalan penari gelombang pasang berkaca pada sisiran angin darat dalam berkaca pada sisiran angin tak berbatas gelombang pasang berkaca pada sisiran angin darat dalam kondisi berkaca pada sisiran anginkan lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan hanya ingin …
II
seusai mengantar jenazahmu
pohon demi pohon masih menundukkan kepala
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi …
III
waktu lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan berjalan ke barat pada malam hari, gelap
mengikuti di belakang, lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan tak menemukan bayang-bayang
lagu perjalanan-perjalanan meraksasakan bait bercelanakan peranginan berbaju kelautan berkibar-kibaran berbenderakan nyali terpusaka berpuisi pertiwi seratusan gerakan perangan diangankan dan matahari tidak bertengkar tentang siapa
di antara kami yang telah menyembunyikan bayang-bayang
IV
potretmu tentu ada dalam padang belantara kera-kera menari ini, bersama
eliot, goenawan mohamad, chairil anwar,
sutardji calzoum bachri, taufiq ismail, amir hamzah
hamzah fansuri, rendra, wiji thukul, ronggowarsito, mpu kanwa …
MATI
bayi itu bernama Mira Sato!
RETAK
guci itu membisikan rahasia Goenawan Muhammad
PISAU PUISI
Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan lata itu terus berjalan menuju entah. Memburu sesuatu yang tak jelas tapi selalu diburu-buru hingga cakrawala yang tak teraih oleh akalnya yang lata. Melata dan mematikan yang berbaju badai salju menuju arah selatan menuju cakrawala jauh. Cakrawala mimpi!
Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan yang gagal mematikan baju badai salju menuju arah selatan menjadi penghuni bumi yang lata merayapi jalanan memburu sampah mencari sisa-sisa makanan yang dibuang para kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan yang berhasil sukses . Sisa makanan itu diraup dan dikunyah cepat-cepat dengan sesekali menengok kiri kanan melihat kalau-kalau ada kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan lawan yang juga akan menyerbu sampah sisa-sisa makanan kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan sukses berhasil dalam kehidupan dan kariernya. Makanan itu tertelan dan segera memberi kekuatan untuk segera bergerak menjauhi tempat pembuangan sisa makanan. Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan lata itu merayap lagi makin jauh meneruskan perjalanan yang tak dipahami maupun disadari apalagi direncanakan.
Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan itu berkumpul pada sebuah pertunjukkan ataupun dalam rumah ibadah seusainya bubar bertebaran memburu rezeki atau mata pencaharian untuk bertahan hari itu seperti halnya burung pemakan biji-bijian yang berhamburan ke segala penjuru angin saat matahari bersinar dan pulang ke sarang dengan tembolok yang penuh saat senja jatuh di ufuk barat. Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan melata bagai ular dan serangga tanah mengais sampah dengan tangannya yang cacat dan dekil, kadang menadah belas pada penziarah, pejalan, ataupun petualang kebetulan melintas setelah berhari-hari mengukur jalanan.
Kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan itu berjalan beriringan layaknya semut-semut yang berperang saling mendorong dan membunuh dengan racun bisa. Bagai kawanan belalang yang menutup langit memburu padang rumput yang menawarkan kehijauan yang kadang merupakan hamparan tanaman padi atau gandum yang sedang bunting menyiapkan bernas-bernas yang diganyang oleh kelompok belalang dengan ganas.
Hidup berjalan seperti matahari yang meniti langit kemudian lindap di balik bukit meninggalkan warna senjakala yang merah tanpa mendung. Kakikaki beribu berjuta kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan setia dengan irama yang berbeda mengelilingi batu kotak hitam. Mulutnya berkemik memuji kebesaran ilahi. Ribuan burung dan serangga beterbangan mengitari lampu dan kemudian serangga hangus terbakar mati atau disambar merpati yang juga mengitari lampu-lampu kota yang jangkung.
Seperti kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan yang memburu kematian yang meloncat-loncat di hutan belantara pagi-pagi mencandai embun, kabut, angin dan daun kering. Seperti semut melata beriringan menuju liang dengan sabar membawa apapun yang dapat dimakan oleh ratu yang tak mampu bergerak kegemukan dan hanya menelur sepanjang masa. Seperti kematian yang berbaju badai salju menuju arah selatan yang memburu kematian yang melompat ke dalam kolam, berenang memburu ikan kecil atau anak cucu serangga yang kebetulan lengah tak terjaga dan ditelan sebagai putaran lingkaran hidup.
HUJAN
selingkuhan bumi mengeluh senyap Sapardi Djoko Damono
ANGIN
meniup ubun-ubun nasib bergelora Abdul Hadi WM
PUZZLE
Afrizal Malna ke mana binatang di dalam kulkas besi itu kau jagal?
RICKI DARI CIBINONG DI MANA BETTY CIAWI
dokter segera bunuh Rendra si raja singa
PESAN SEBELUM MATI
Ya, jangan kau bikin ini untuk yang kedua kalinya
PIDATO PENGUBURAN
semoga arwah ini mengetahui jalan pulang ke bumi: sialan!
“MEKKAH – MEDINAH 25 PERAK”
BERITA
sudah empat ratus lima puluh jamaah penziarah meninggal
dan tubuhku diangkut dalam keranda berlari menuju Hijir Ismail
dalam waktu sholat mereka menyalatkan dalam gemuruh kaki penziarah dalam tawaf
BANDARA JEDDAH
berbaris meminta ijin
kesabaran menuntut giliran
kemudian menunggu perjalanan dengan bus
menuju Al Mukarommah
JAM 12 SIANG 23 DESEMBER 2006
pengembara itu menciut melihat geriapan cahaya yang menusuk bumi
perjalanan itu dimulai dengan air mata dan kesunyian
ya Allah hambamu datang
hambamu menyerahkan dosa-dosanya
: mohon diampuni
23 DESEMBER 2006 JAM 19:00
dalam rumahMu sejuk
mengelepar sukmaku
memohon ampunan
meminta rizki
juga panjang umur
mohon hidayahmu
agar hidup jadi qona’ah
agar hidup setelah mati di sisi nabiMu
JAM 10 PAGI 24 DESEMBER 2006
Bekasi kota di belakang berlari menuju matahari
melintasi hujan kemarau dan gelombang pasang purbani
ada gapai lepas dipatuk camar yang selalu bercanda dengan gelombang
24 DESEMBER 2006 JAM 16:00
(di dalam pesawat Saudi Arabian Airlanes)
guncangan cuaca menandai melintasi budaya
melintasi keimanan
melintasi kepekatan niat tunggal
padamu aku jejaki sejarahmu ya nabi!
MOAISEM 30 DESEMBER 2006
kami berbaring menunggu saat berangkat
siap membatu memburu jumarat
atas nama batu
atas nama bukit
atas nama kabut
siang tanpa angin
SENJA JATUH (Mina 07)
senja jatuh haripun luruh
segala keluh rapuh
dalam dekap gemuruh: Tahun baru!
TAWAF (!)
beriak air bergelung gulung gemulung menuju pusar
berpusingan bergasing menuju mata ka’bah hitam
dalam kemik-kemik: Astagfirullah ..................
TAWAF (@)
kuseret sukmaku pada kisaran dengung “lebah” dzikurllah
: basuhlah dosa kami ya Allah!
TAWAF (#)
aku rubuh di pintu ka’bah terinjak kaki hitam coklat tanpa warna nafaslu satu-satu letih: subhanallah! Kau panggil diriku pada saat yang Kau pilih! (kuburu marahmu!)
Mekkah 07
TAWAF ($)
kuburu jejak kabut
hingga ke batu hitam dalam ceruk
(kudengar sayup kau terbatuk-batuk)
Mekkah 07
TAWAF (%)
onta itu berenda berdandan mengeluh perlahan
menyambut tetamu
kakiku guyuh meraba Rukun Yamani dalam rinai gerimis
Astagfirullah
tak lepas dari bibir yang makin kering
sembari dikelilingi batu hitam yang gagah
terpusat pada titik tengah rumahmu
Mekkah 2007
TAWAF (^)
kupeluk kesah purba
menetes darah dari pori
aku rubuh lagi di muka pintu ka’bah
dalam mata sembab
Mekkah 2007
TAWAF
bagi teman seperjalanan di Mekkah
kuburu jejak nabi sampai di batu hitam dalam ceruk
:Hajar Aswad
tak juga kusapa batukmu sekalipun
Mekkah 2007
TAWAF WADA
air mata mengucur dari Hijir Ismail mengingat bayi itu
menendang bukit berbatu yang memuncratkan air Zam Zam
penuh sungguh pepat hati suntuk
menelusuri jejak Hajar
tujuh kali berlari dari Safa ke Marwa
batu hitam tetap diam gagah dan perkasa
aku merunduk hingga batas lantai
luruh dalam haribaan rumahmu
kasihMu mengisahkan ayat-ayat mula dalam kitab suci itu
batu hitam menyelip di sudut
meruak merangsang tanya
kecup dan cium hormat senantiasa
membawa mitos batu keramat yang disalahtafsirkan
pusaran manusia berbaju mayat menyusut pada
batu hitam lekam dan meledak dalam tangis
: aku rindu akan datang lagi
aku sunyi dalam subuh risik dengan langkah penziarah
atas dzikir dedaunan
(22-1-07)
SELAMAT TINGGAL MINA
selamat tinggal bukit Aqabah
selamat pagi haji
segenap bukit dan batu bersaksi atas hadirmu
Mina 07
SA’I (1)
gunung gemunung berbatu-batu
terik mentari merengek di bibir bayi nangis
menendang-nendang pasir kehausan
SA’I (2)
bukit berbatu licin dipanjat menuju Marwah
kembali ke Safa
mata air itu muncrat di kaki bayi
: zam zam zam zam zam
SA’I (3)
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
kuburu jejakmu
tak juga cintamu
melumerkan amarah purba
tentang kesetiaan
tentang kejujuran
tentang pasrahku
SA’I (4)
ada penjelajah penziarah 62 tersesat
petualang itu meluncur lewat pesawat antariksa
membumi menuju pusat
SA’I (5)
mohon ampun mohon petunjukMu
di mana mata air cinta itu?
SA’I (6)
cengkeraman dingin meremas nyali meluruhkan pandangan
pada bukit berbatu yang dijejaki para napak tilas
tak terpahami lagi sengatan matahari terik
karena Mekkah direngkuh awan hitam dan rinai gerimis
(suara sesak siapa menangis dalam tawaf dan sa’i itu?)
SA’I (6)
sampai putaran ke tujuh rambut itu terpangkas tiga kali
jejak itu lurus menuju restaurant dan restroom
SA’I (7)
SMS itu membayangi keterpurukan diri
(saat usai mandi pagi)
kembali keterpurukan memutus komunikasi kasih
SA’I (8)
(Kemal) menikah dalam pesta keriuhan pulau Bali
aku sendiri dalam hening
HUJAN JANUARI
kata Sapardi biasa datang bulan Juni
setelah api-api menggila terpadamkan
kata Rendra gerimis bagai mainan anak-anak
yang meluruhkan cinta sejati
kata Sutarji hujan hanya tik-tok arloji
selainnya huruf alif!
senja menyatu dalam sujud diguyur tangis langit
membersihkan dosa penziarah
Mekkah itu dalam barokah
(hujan itu makin menjarum menusuki diri)
HUJAN PAGI-PAGI
jemuran kemarin basah lagi
air mata meleleh menatap batu hitammu
TURKISH RESTAURANT
seingatku hanya Amerika serikat yang membakar jantung, nyali
dan potongan kubus daging
seingatku hanya Indonesia Bagian Barat waktu menyalip pada jarum detik
pada matahari dan hujan yang salah hadir
seingatku hanya Mekkah kota padang pasir, onta, agama untuk umat
(dan kiriman hujan itu menjadi berkah sendiri)
seingatku hari ini perak retak terbakar pada janji lelaki
yang tak seperti matahari terbit
tapi musim yang senantiasa tak pasti untuk diduga
seingatku perak retak itu ..........
JENDELA JIBRIL
di belahan timur jendela masjid mungil warna hijau
nabi itu setia menunggu : firman Mu hingga kini
sampai saat ini ketika berjuta makhluk bumi bertasbih
jasad nabi menunggu dengan sabar
di payung kubah hijau
MISFALAH DI SIMPANG JALAN
ada lampu lalu lintas yang setia
ada kotak jaga yang berlubang tempat polisi
lelampuan jalan yang jangkung meludahi wajah penziarah pasrah
lapangan taman kota kosong rerumputan kering
jejak para pedagang kaki lima hitam pekat
burung merpati senantiasa bercumbu untuk dirinya
aku menatap sepi purbaku
2007
LAUT MERAH
senja semburat atas air laut
tersimpan rapi di sebuah mall
melukisi masa-masa berjalan di Masjidil Rahma
terapung dalam senja
2007
MAKAN PAGI I
sepotong roti
teh manis
dalam fajar pagi seusai sholat subuh
MAKAN PAGI II
dulu selalu kopi dan roti
sekarang dzikir dan ampunan
yang kau lantunkan dalam derai air mata
(dasar manusia congkak!)
MAKAN PAGI III
sepotong roti berlumur creamer dan sejumput rasa syukur
Mekkah 2007
ONTA 1
tampang bodohmu menjebak bayang atas badai gurun
ONTA 2
naiklah ke punggungku
kau kan lihat nabi menuju gua di bukit itu!
ONTA 3
manusia itu telah mendandaniku dengan bunga rampai plastik
penziarah itu tersedak realnya sejumput demi sejumput
seperti dosa yang makin tipis setelah terampuni!
2007
SHOLAT DI MASJID
setiap saat panggilanmu menyeretku pada rukuk sebatas ubin
tapi umatMu bagai burung berkicau membatukkan dzikirnya
2007
MEKKAH – MEDINAH 2007 (1)
saat nabi menghilang dalam perut gua
laba-laba menutup dengan sarangnya
dan orang Quraisy bersilang pendapat
saat bis melaju penyair itu teridur
seusai menyantap makan siang
menyisa sekerat daging, sesendok nasi
serta remah-remah kerupuk
padang pasir, bukit berbatu diam menyimpan pesona
rahasia ilahi terbawa angin: telah kusempurnakan agama itu
untuk umatku sampai akhir zaman
MEKKAH - MEDINAH 2007 (2)
nabi bergegas di punggung onta menerobos gua Hira
yang segera terentang sarang laba-laba
HOTEL WASEL MEDINAH
kenikmatan yang kau limpahkan memalaskan ibadahmu
wahai penziarah yang congkak
2007
MEDINAH 1
di atas bukit kau megah terpagari beton-beton berkilauan
seperti Masjidil Haram kau teriakkan nama
: hai Ibrahim mana kapak besar cucu-cucumu?
hai Ibrahim mana kegagahan cucu-cucumu?
MEDINAH 2
nabi memohon padanya
agar kota ini mendapat barokah
tapi anak cucu Ibrahim menciptakan berhala beton!
MEDINAH 3
menunggu saat sholat
menunggu saat ajal
MEDINAH 4
hanya dua langkah tanah harammu berlimpah pahala
tapi hati yang congkak itu masih saja bergelung
di balik bed cover hijau tanpa kemikan doa
maupun dzikir syukur dan tasbih
selayaknya binatang dan tumbuhan yang senantiasa bertasbih padaMu
2007
MATAHARI MEDINAH 1
jam tepat tujuh: assamulaikun wal samsiiyah
langitku tenggorokanku yang tercacah virus
aku mohon syafaatmu, ya Allah melalui matahariMu!
(rohku meringkik lirih di balik bed cover)
MATAHARI MEDINAH 2
pada hari ke lima Madinah resah
gelombang udara dingin menepi
tampak cerah tanpa mega
membakar semangat belanja para penziarah
pada matahari terik ke lima
gerimis dalam dekap isak tangis merekah jadi bunga melati
bertebaran lewat olesan minyak wangi India
jangan tanya aroma Arab, onta dan keringat Afrika
hanya semilir wangi bakaran roti dan daging barbeque
PAGI MEDINAH
kau lupa bangunkan diriku
untuk mendirikan sholat tahajud dan tasbih
SIANG MEDINAH
hawa pagi masih menerpaku beku
dibingkai jendela hotel
sedang kopi atau teh hangat makin lepas teraih
apalagi roti dan nasi
(melintas Arafah dalam 30 jam tanpa kunyahan kudapan di mulut)
SORE MEDINAH
tak ada pengembara yang bercengkerama dengan matahari
mereka menyisir karpet hijau
menuju kubah tempat nabi beristirahat
1982 – 2007
perjalanan yang makin sarat dengan pertikaian
perak itu terus akan makin bersinar
ya, Allah inilah hadiahMu terbesar!
2007
PADANG ONTA
senja di balik bukit pasir
biri-biri, onta dan angin sepoi-sepoi
serta dingin yang menghunjam tulang
2007
PEMANDANGAN PAGI HARI DARI JENDELA HOTEL
selalu berselancar di atas es beku
para penziarah merayapi halaman Masjidil Nabawi
MEDITASI MEDINAH
sendiri dalam kamar hotel
sendiri melintasi jendela hotel
cahaya matahari
udara beku
kuburan Baqi
kubah hijau makam Nabi
sendiri dalam kamar hotel pagi-pagi
menonton acara televisi sendiri
(Di mana kau?)
2007
MEDITASI PAGI
secangkir teh poci plus creamer
sebongkah roti dan selai kacang
sejumput korma ajwa
: Alhamdulillah!
MEMANDANG PAGI
aku ingat sajakmu
senantiasa bicara pagi-pagi
tentang elegi yang tak henti-henti
MENEPI
sendiri di kota ini
tak ada risik gerimis
tak ada desir pasir
sendiri setelah retak
perahu perak pecah berderak
pada sandaran tak bertali
pelaut sunyi itu menyanyi
tentang pulau-pulau tak berhuni
tentang burung-burung yang memburu ikan
tentang nelayan-nelayan yang tabah
tentang badai yang selalu dihadangnya
pantai itu pecah oleh ombak
dan para pencari kerang memburuku sampai ke liang-liang
aku menepi di gisik ini
: sendiri!
2007
PULANG
di atas pesawat Saudi Airlines
ada yang kembali tak datang-datang
ada yang pergi tak pulang-pulang
ada yang terbang entah memburu apa
ada yang tiada ke alam baka
ada yang berbicara tanpa swara tanpa rupa tanpa makna
: di angkasa raya!
31 Jan 07
MENJAWAB PERTANYAAN
mengenang saat-saat bersama almarhum Erie Madya M.
tentu saja harus pasti
sebab tak ada yang mau
teka-teki seperti mati
tentu saja harus jelas
karena kejelasan membuka
tabir kegelapan seperti
kematian yang tiba-tiba
tentu saja harus perlahan
kecepatan akan mengaburkan
pemandangan dan pemilahan
tak lagi dapat di terka
seperti saat sholat
semua hanya yakin
31 Jan 07
MENYESAL (31 Jan 07)
juga bagi almarhum
tak lagi dapat kugenggam tanganmu
kutatap wajahmu
apalagi kukecup bibirmu
tak lagi dapat kueja
setiap huruf dan kata
karena ……
tak lagi dapat di tata
(belum juga selesai kujelaskan semuanya
misteri itu menyekap bayang dan mimpiku)
SUBUH KELU
catatan kecil bagi almarhum Erie Madya M
gerimis reda
kau berjalan menyongsong kabut
Madinah 2007
YOGYAKARTA
sebagian dari jiwaku yang tergadaikan
Madinah 2007
BOGOR
antara roh dan ragaku yang terbelah
Madinah 2007
JAKARTA
jiwaku yang terkapar di jalanan
Madinah 2007
SUKABUMI
sukmaku mati terlindas mimpi
Madinah 2007
(ADA) PENYAIR MATI DI KA’BAH
huruf runcing menancap tepat di urat nadi
katapun melibas dengan hentakan kaki-kaki
nafas lepas saat kalimat itu diakhiri dengan tanda baca
Mekkah 2007
MENUJU PERANG BADR
bus melaju pada kecepatan tetap
seakan onta tentra Islam menghirup ruap gurun
laut pasir membacok mimpi kabilah kalah perang
: pesan puasamu ya nabi
Mekkah 2007
MASJIDIL RAHMAH LAUR MERAH
wadagmu mengapung mengangkat niat binti Hawa
meluruhkan dosa-dosa pengunjung melumuri lantai kering restroom
Jeddah 2007
PAGI BIRU MASJIDIL HARAM 14-1-07
saat sujud tasbih rakaat ke tiga
melintas sembilan keranda
mengakhiri derita tigapuluh jam Arafah
Mekkah 2007
BULAN MENITI BUKIT
bulan separo semangka membatu di gigir bukit: Selamat makan pagi penyair!
Moaisem, Mina 31-12-2006
SEUSAI HUJAN DI MEKKAH
setelah hujan reda menendang perut menuntut isi
pagi kelabu seperti pulang ke Bogor rinai gerimis
sisakan comberan dengan selaksa aroma ‘Arab’
awan hitam merengkuh Mekkah
jejarum hujan siap menghunus
seperti kemarin saat magrib rakaat ke tiga
rohku rubuh di Maqam Ibrahim
jarum hujan menyalib raga ringkih
Mekkah 2007
ARAFAH
Gunawan Muhammad mencatat dingin
menuliskan Sarajevo menggetarkan bumi
meratakan bumi rencong
Putu Wijaya berkeyakinan keragaman sebagai musuh
mengentuti ruang dan waktu pada tengah malam
saat bulan melenggang ke cakrawala
dalam wajah setengah lingkaran bola
kau mengerang menepis beku
dalam warnaku biru
Arafah, 28-12-2007
2007 DI MOAISEM
matahari bukit berbatu melempar jumarat aqabah dalam dingin njekut, GM?
KEMBALI ARAFAH SETELAH WUKUF
tanpa tenda
tanpa pedagang
tanpa penziarah
hanya Jabal Rahmah tempatmu bertemu
wahai makhluk mulia pertama ciptaanMu
setelah melakukan nista memakan buah larangan
SUBUH I
kususuri jalan sunyi kumuh dan berdebu
kuketuk segala pintu
kukira di Mekkah semua pintu menuju rumahmu
SUBUH II
pagi buta menyusuri jejak hitam dalam bercak-bercak pasir
batu, sampah plastik
kukais rotiku yang jatuh kemarin di antara tumpukan pedagang kaki lima
rohku meleleh dalam kubang sayur Nigeria
tergeletak sayu pada kue onde-onde dan bala-bala coklat tua
SAKIT
pilek dan batuk tak mampu menusuk onta
tapi penziarah itu terkulai rubuh waktu subuh
tertusuk flu onta!
SAKIT MEREDA
flu onta itu meregang kalah tertingkap
limbung saat subuh menjelang titik jenuh
ridhoMu ya, Allah yang senantiasa kujaring
PERAK (I)
sujudku rubuh di subuh waktu
ragaku luruh dalam dekap masjidMu
rencanaku menggumpal dalam kemik doa
pikiranku menyatu dalam sujud syukur
perasaanku melayang menyusuri lekuk-lekuk ornamen rumahmu!
PERAK (II)
jejak itu meninggalkan luka
bagai usai perang Badar menghadapi perang shaum
PERAK (III)
jejak itu meninggalkan asap
mengoyak di dada
mencari penjelasan dalam bilur-bilur ayat Ibrahim
yang menyimpan misteri berhala-berhala purba
kini menjelma gedung beton menjulang dan logo dagang
menangkup batu hitammu
BUS-BUS MENUNGGU DI MASJIDIL HARAM
dalam zikir dalam sepi dalam hati
perak retak: nyali lelaki
MAKTAB 60
AC, kipas angin, talang air dan jejeran ranjang
selalu menjerit kelelahan tertimpa dosa-dosa penziarah
pintu kusam, lift mati berderak
tangga dekil dan lantai bergincu debu
sampah para penziarah lalai akan pesan Nabinya
aku tergeletak di kotak sampah diludahi dan diinjak beribu
berjuta
berlaksa penziarah yang tak beda dengan penjarah
2007
ZIARAH 2005
TEMPAT ZIARAH RETRO CONCERT 1/2 Abad 2005
bagi Sapto Raharjo
kukuburkan sejumlah puisi cinta
yang terbuhul dari perselingkuhan
hasil dari hubungan gelap yang bertahun-tahun
melahirkan antologi penguburan setelah dimandikan
dikafankan dan didoakan penziarah
kukuburkan segala kesan perjalanan
pada kuburan sepi di tepi kali
pada keingian yang makin jauh tergapai
pada kebohongan kita senantiasa
pada sebuah kenisbian
bukan 50 tetapi 30 tahun
perjalanan musikmu merayapi jalur tanpa penonton
iramamu tanpa partitur normal
30 tahun berjalan
kauramu segala bunyi
kau susun segala alat musik
dan mendayu sampai dunia Eropa
dari kaki Merapi sebelum masehi
sampai bentangan musim salju di Paris Anno Domini
undangan itu tergeletak
memukul demam berdarah
menusuk flu tahun Ayam
merejam arthritis tahunan
menyalip pasti diabetes tahap ke dua
undangan itu membawa perjalanan
30 tahun silam
Concerto in D Mayor
in Concert in the Universe
bogor 14. 2. 05
ZIARAH ZAHRAH 2005
berderet pada satu nada dasar: dosa!
berdiri tegak memandang: prasasti!
Berbaring damai pada pusara: catatan kaki!
ROMBONGAN PENZIARAH 2005
berduyun-duyun manusia bertopi salju
menuju makamku yang berlumut saat kududuk di ujung nisan
ada yang menggumamkan doa lirih sebagian diam menelusuri jejak pribadi
ada yang tenggelam dalam pencari batas doa dan sedakan nafas
PENZIARAH 2005
saat Jibril datang menjambret milik ilahi
yang dipinjamkan tanpa uang sewa kecuali tagwa
berduyun-duyun manusia berkerudung hujan
membacakan ayat-ayat putih
menyanyikan masmur-masmur mawar
juga menyalakan dupa wangi
menghardik kematian yang ditolaknya
berduyun-duyun manusia malang berbaju badai
menyesalkan jarak pandang dan rengkah tanah pusara
yang makin susah dibayar dengan airmata
mereka yang selalu mengembara
saat Jibril kembali mendengarkan petuah khatib di masjid
yang tanpa makmum karena ternyata khatib itu bersuara lewat pita rekaman
2003-2005
ZIARAH JENAZAH
tubuh keperempuanku tergolek pucat
ada seberkas warna dadu menyilang dada
getaran nadi di otak tertikam pisau stroke tajam
tubuh keperempuanku tersayat panas denyar bisik lirih penziarah
menanyakan keanehan mayat keperempuanku belum terkafani
perempuan-perempuan kampung berduyun-duyun mengempit tasbih dan buku doa
mereka bersama menyirami kepenatan jazat yang papa ketuaan
kepala setengah botak tersengat perlakuan dokter tehnologi tinggi
tubuh keperempuanku tak lagi menggeliat hanya berdesis menghamburkan bau amis
makin siang makin menyengat bau mayat mulai membusuk
orang-orang masih sibuk mencari lahan kubur yang tersisa
menilpun sanak saudara menanyakan apakah mau menghantar jazatku ke pemakamanan
mereka berkasak-kusuk tentang siapa membiayai bunga tabur
mereka bertengkar tentang ambulan jenazah dan bis atau mobil sewa untuk penziarah
mereka menziarahi masa depan mereka sendiri-sendiri dengan berguman jika kumati
mereka mendendangkan keinginan atas kubur teduh dan penziarah penuh
aroma busuk mayat keperempuanku makin mengudara memenuhi ruang-ruang
kamar tidurku masih terserak baju kotor
kamar makan bergeletakan gelas dan piring serta sendok – garpu jejakmakan malam terakhirku
kamar tamu yang segala perabot sudah diungsikan kerana aku terbaring bisu di tengahnya
kamar mandi yang habis sampo dan sabun mandi serta celana dalam kotor di ember,di depan pintu kamar mandi sepasang sandal jepit tergeletak rapi di atas keset kain yang makin kusam bertuliskan welcome!
lampu-lampu semua sudah dipadamkan juga radio dan televisi teronggok di sudut ruang keluarga dengan kabel terlepas
tikarpun terhampar di lantai sedang orang-orang sibuk menghaluskan kayu cendana, meremukan kapur barus dan meronce bunga kebun dan daun pandan
mereka terus berguman
mereka menggunjingkan suamiku yang masih gagah
mereka menaksir-naksir apa yang terjadi dengan rohku
rohku duduk mencangkung di luar bersama malaikat yang menjemputku
malaikat itu selalu membujukku untuk segera berlalu
tapi rohku menawar untuk meyakinkan semua handai tolan dan sanak saudara hadir
rohku haus akan doa-doa tulus dari saudara sekulit sedarah
kelima anaku yang sudah menghadiahi cucu sepuluh hadir satu-satu
menyesali kepergianku
menangisi ketidak-dapatan menungguiku
memeluk suamiku yang diam tergugu terkuras airmatanya semalaman menjelang kepergianku
tubuh keperempuanku diputuskan untuk dimandikan tepat setelah matahari di ubun-ubun
setelah selesai istirahat kerja mereka dan sedikit makan bekal yang dibawa dari rumah
perempuan-perempuan kampung berduyun datang dengan sigap membentang kain menyiapkan air dan gayung bertaburan bunga setaman
di ruang tamu setangi dinyalakan mengusir bau mayat yang makin menyengat
perempuan-perempuan kampung itu mulai menyuruh lelaki mengangkat mayat keperempuanku dibaringkan di balai beralaskan pohon pisang yang terbelah
dengan desisan doa pemimpin, upacara permandian jenazah mulai, mereka mengguyur tubuhku, menyabuni, menyampoi rambutku kemudian mengeringkan dan diangkat ke ruang tamu lagi dengan keadaan terbungkus kain batik
perempuan-perempuan kampung dengan sigap merobek kain kafan melipat membungkus menalikan dan siaplah keranda terbuka menerima tubuh keperempuanku berpakaian perang menuju alam kubur
rohku menangis dan malaikat itu membujuk bahwa segalanya telah selesai
semua berjalan dengan baik
aku sudah siap untuk menyerahkan dunia ini kepada penerus darah kulitku
tiba-tiba kurasakan getaran angin yang membelai pohonan
matahari sudah mencondongkan bayang-bayang ke arah timur
beberapa gumpal awan merayapi langit mengurangi terik siang
iringan jenazah melawati kota dengan kibaran bendera kuning dari kertas
beberapa pemuda dengan mengendarai sepeda motor membuka jalan
sirine mobil jenazah melengking dengan gertapan lampu biru meminta jalan agar segera menuntaskan jazatku di baringkan di bumi di kembalikan seperti makna ayatNya
rohku menatap jazat keperempuanku yang terbungkus kafan rapi diturunkan di liang lahat tempat peristirahatan terakhir di awali dengan suara adzan dan qomat serta gugukan tangis kerabat terutama anak-cucuku
mereka menutup dinding lahat dengan beton agar kedap air dan timbunan tanah tak menimpa jazatku
orang-orang segera beranjak meninggalkan gundukan tanah merah yang menyimpan jazat keperempuanku
rohku bergayutan di pokok kemboja berbunga lebat putih-putih dengan sudut tengah yang menguning
beberapa kumbang berkitaran di sekitar bunga
burung-burung yang menanti senja telah bertengger di rating dahan pohon beringin di tengah makam
tak ada burung gagak meratap
tak ada burung kedasih merintih
tak ada burung hantu menderum
pemakaman itu sepi
pemakaman itu mencatat
detik berlarian dip agar
dan matahari lindap di balik dedauan
penjaga kuburan dan beberapa penggali kubur menyudut membagi rejeki hari ini
rohku masih bermain-main dengan angin di pepohonan
megapun berarak menyusut ke barat merah semerah tanah tempat jazat keperempuanku
senja membayang dalam perjalanan menuju kesempurnaan
senja menorehkan luka panjang bagi yang masih mengingatku
senja menyimpan misteri kepergian
senja ziarah kubur keperempuanku melindas segala kenangan
dari balik rumahku mereka membacakan ayat-ayat putih dan doa
agar jazat keperempuanku dihindarkan dari siksa kubur,
rohku diampuni dosanya diterima di sisiNya
mereka terus menghitung hari agar aku tak menanti-nanti
Boo-19-02-03 – 19-03-05
ZIARAH SERANG
kususuri jejak purba lewat kuburan tua
sisa kerajaan, petilasan masjid-masjid tua
jalanan berdebu juga pepohonan meranggas
hanya lelaki tua berkopiah lusuh berkemik doa malam-malam
berlampu minyak menari dihembus angin semilir makin mengukuhkan kepurbaan
jalanan lengang tanpa tiang listrik dan jauh rumah penduduk
cahaya bulan setengah semburat mengarahkan mata-angin
layaknya pelaut memburu ikan membantu nelayan melarikan diri dari kejaran nasib
lelaki tua berkopiah lusuh itu masih sibuk dengan hitungan zikirnya
kususri seluruh masa depan
tentang abad kehancuran
tentang keingian yang tak terpuaskan
tentang cerita raja tak bermahkota
dan rakyat tak lagi bias bicara
2003-2005
ZIARAH NOKTAH 2005
titik pada dinding samodra pada putih pagi puisi (sisa ilusi tsunami menggaris tipis)
ZIARAH KEPEREMPUANKU
kau biarkan tamumu berdiri didepan pintu dengan wajah tegang tegak
tak ada ruang tamu dengan televisi atau radio menyanyi menarikan lagu rock’n roll
tamu itu tetap tegar sampai desis bisikan lirih menggamitnya menuju celah jendela
kuserahkan keperawananku di pelaminan sejati esok pagi
saat matahari menghangatkan bumi dengan denyar-denyar nafas beraroma kesturi
saat sepasang tangan terkatup deru gelombang makin menyusut malam
aku biarkan goa itu mengelupas
tak ada desir angin kemarau menyingkap kelambu
nyamuk dan lalat telah ruruh di balik daun
diam amarahku terkuak meluncur tepi jendela
gerimis mulai menjarum di luar kamar
swaranya liris bagai puisi dinyanyikan
swaranya hilang dalam gemuruh deras gerimis
2003 - 2005
ZIARAH KELAMIN 2005
kuku musim mencakar punggung bukit menorehkan nafsu
dibiarkan belahan lembah gundul tanpa pepohonan diguyur garis gerimis
desah angin barat bergegas meniup layar pemburu ikan di laut lepas
kibaran kain layar tua berkeredep menyusup gelombang menggelora
ada celana dalam dan penutup buah dada terengut dalam kayuh biduk menyusup gelombang
tercecer rambut-rambut kemarau bergeriap tersulur menuju gisik pantai putih
dalam erangan burung camar gagal mencucuk ikan
disandarkan mimpi ziarah kelaminnya pada dinding kamar mandi
air mani itu menetes mengaliri rongga lingga menuju liang kesuburan bumi
gerimis menyelesaikan lukisan kelabu
tiang-tiang listrik dan telepun basah
ada kupu malam mengerjap mengejar sinar lampu
terjerat dalam panah pijar yang mematikan
ZIARAH NEGERI GAJAH 2005
jejakmu memang sudah menjadi mall-mall dan plaza-plaza pertokoan
ada tersisa bukit gersang yang mengusirmu dari kekinian
jejakmu menempel di lapangan terbang yang bisu
taksi gelap dan pengantar yang tak dapat melewati pintu gerbang
sengaja kucari desir nafasmu di pekuburan tua tanpa penziarah
sia-sia kurenangi rawa-rawa membuntuti naluri hutan yang menyimpan misteri
jejakku sendiri hilang ditelan bayang kerajaan Sriwijaya
legendamu membuyarkan nafsu amarah
ceritamu memburu angin barat dan tersesat di belantara
di jalanan jengkerik beradu otot dan membunuh lawan
pagar kayu itu rapuh dilahap rayap
ZIARAH ROTI
jeritan “boti” membelah pagi senyap menawarkan mimpi
menyeret pada jalanan bebas hambatan dengan kecepatan maksimal
di keremangan pagi masih saja kutemui remah roti kemarin
satu-satu dipecah semut dibawa menuju liang
jeritan “boti” pagi-pagi jatuh lenyap dalam liang semut
semut itu menyandera roti
semut itu menjeritkan pesta bagi ratunya
semut itu tetap merayapi kawat telepon diam-diam
2003-2005
ZIARAH PUISI
huruf kata frasa kalimat terpenggal berantakan hingga tak dikenali
kumpulan paragraf alinea menjorok lumer kerna musim salah hitung
bulan yang cidera didera pesawat antariksa luka menganga bagai koreng pengemis
kerumunan lalat lata memanusia tertipu cahaya kota pengembara
masihkan kau puisi jika tanpa huruf kata frasa kalimat alinea?
aku masih puisi yang memuisi sebunyi dalam aliterasi
samar kulipat makna dari kumpulan huruf yang mengkata
angin bergulingan di padang pasir menaburkan debu puisi
menusuk mataku setajam mata pisauMu
2003-2005
ZIARAH ILALANG
sukmaku masuk ke akar rumputan tertusuk
luka menembus langit tanpa mega
bergelombang angin menelikung cakrawala
membuncah resah rasa bungah bunga-bunga
tanganmu merapat ke sisi kiri penggunungan rimbun belantara
menyusuri lembah-lembah tajam mengiris kenikmatan
satu-satu nafas luruh gerimis runcing menancap dedauan
tangan bertaut gigi gunung berkerut menumbuhkan gempa
Ya Allah! aku telah mendustai akan segala yang kau tumbuh-kembangkan
kubunuh segala semak ilalang mengubur keperempuanku
kusedu akar menggolakkan gelegak gelombang garam
pepohonan merunduk membuka kelopak kesturi
tangan keperempuanku merenggut sampai keakar-akarnya
2003-2005
ZIARAH RUMPUTAN 2005
rebahan gerak alami memusat ke arah matahari
mengharap hangat menyelamatkan hayat
tangan-tangan kumal menggumpal menjadi asap jelaga
berhamburan ke tengah kota meneriakan kelaparan
membakar kota dan desa menumbuhkan bencana sosial
kubaringkan arah matahari mulai senja pada ziarah roh masing-masing
mereka menyanyikan lagu-lagu duka
mereka menghentakan kakinya di depan gedung perwakilan negara asing
membawa bedera kumal dan robek robek terhajar badai sepanjang jalan
biduk oleng tanpa kayuh penggelandang negeri mengetuki pintu-pintu
kota sepi mulai melarikan penghuni dalam bunker labirin waktu
bulan merayapi cakrawala dengan wajah setengah
cahayanya menusuk langsung di pekarangan pekuburan
burung hantu terus mengawasi setiap gerak lembut
di kejauhan gedebur gelombang pantai membentuk karang
membuncah buih dalam kesepian
ZIARAH FAJAR
malam menikam diufuk barat di celah mega (aku merunduk menggerumuti kelaminmu)
ZIARAH TERANG TANAH
di lembah-lembah merayap suluran pepohonan menggapai cahaya
dari kota-kota terdekat rumputan ilalang perdu memancarkan cahaya listrik
bagai petir kunang-kunang serangga malam mengerjap perjalanan waktu memutus rantai keremangan diketiak hujan ritmis melukis garis cakrawala
berkedap-kedip berbintang cahaya biru merah di ujung liang jejak binatang lata
terjerembahlah wahai penyusur malam
saat kedasih menyanyikan kematianmu
saat gagak mencabik rohmu
saat senja jauh dari gapaian maknawi indera saktimu
di bukit-bulit gundul tanpa satwa
pertama itu asyik menghitung langkah lewat butiran tasbih
gerimis turun di balik pepohonan memercikan bianglala
2005
ZIARAH SUBUH
angin masih bertasbih di serambi masjid
sementara burung-burung mengaisi sayap sambil mencucuki kutu
seranga bergelung di labirin waktu
dedaunan dengan fitrahnya merunduk menunggu cahaya mentari
dendang syair ilahi lewat lorong-lorong waktu
menghitung usia manusia dan dunia
tangan kianat malam menempel di tiang listrik tanpa lampu
terguyur basah gerimis semalaman
mencoba merosot dari tiang cakrawala menuju liang-liang kelam
angin bangkit mengumandangkan adzan
menarik selimut semesta membuka tabir cakrawala
ternyata pagi ini aku masih kau sentuh dengan nafasMu: Alhamdulillah ya Robbi.
angin telah selesai rakaat sunah pertama
kecipak air di selokan mengumandangkan masmur pagi lirih
sedang pohon membisu dalam meditasi
seorang lelaki membelah pagi denmgan pernyataan putih
2003-2005
ZIARAH MASJID
kemana jejak uang para penderma saleh terbaring?
pada sajadah bergandengan dan melukisi mirhap masjid
juga pada mikrofon yang senantiasa meludahkan nasihat untuk taqwa
apa pada dinding tempat wudhu yang berlumutan coretan kekesalan umat?
kemana jejak zikir para mustahid mendesir di dinding masjid?
menjadi kaligrafi namaMu dan pesuruhMu dalam warna keemasan
senantiasa arah kiblatmu menuntun mereka yang buta hati buta batin
dalam kemikan doa lirih pagi-pagi menjadi lapisan mentega hidangan sarapan roti
kemana jejak doamu pagi ini?
menggelinding bersama air comberan
berceloteh tentang doa dan rejeki
berbisik menembus kabut yang gemetar di dedauan
ZIARAH ISTERI
lelaki itu tidur memeluk kelaminnya dan membiarkan pahanya tersingkap
malam-malam ketika detak jam berhenti menyusuri denyut nafas wangi
lelaki itu masih lelap tisur dan istrinya berganti wujud ular sanca kembang
merayap ke luar lewat sela-sela dinding bamboo yang tersingkap
lelaki it uterus tidur bermimpi dan memburu ular dalam alamnya
2005
ZIARAH PERSELINGKUHAN
dari hidung mungil tangannya menggapai selimut malam jadi gulita
bulan berhenti di sudut bidang langit yang berawan
beribu bintang menyanyikan lagu cinta surgawi
lelaki itu dengan mimpi kelaminnya tersangkut di candi-candi purba
dipermainkan para kurcaci yang senantiasa memegang bendera warna warni
lelaki itu memburu mimpinya hingga fajar
ZIARAH SUAMI 2005
dihajarnya malam dengan erangan nafsu menggelegak
dicabiknya kelambu malam tipis mengundang syahwat
nalurinya melumatkan bola-bola nasib menggiring angin mesum keremangan
tangannya mencakar punggung bukit menghadirkan air bah menenggelamkan kota
garis gerimis sisa semalam mengkristal jadi butiran-butiran es
digerayanginya geraian sulur-sulur rimba mengering dilibas kemarau
danau tanpa ungas dan ikan itu direnangi dengan amarah
dijangkaunya ganggang dan segala lumut yang tersisa
di seberang danau di bibir pasir nafasnya terhenti satu-satu
selimut tipis pagi menutup tubuh lelaki bugil dalam kepuasan.
perempuan yang tergolek di didinya
bangkit membenah penutup buah dada
mengaitkan kancing dan mengibaskan debu
rumputan tegak dan kembali rebah tanpa daya
perempuan itu selesai menyisir rambutnya
kakinya melakang menuju baying-bayang pagi
ZIARAH SENJA 2005
burung sudah lama mendekam di sarang malam
serangga malam dan lelampuan jalanan berpendar mengiringi langkah rembulan
bintang tersipu tergoda gerimis yang miring di perbukitan
pepohonan merunduk mencatat suhu
jejak cakrawala lindap di dada
burung malam masih mengeja malam
mega berarak ke selatan meninggalkan pesan badai kemarau
penyu dan ikan lumba-lumba tenang membelah ke dalaman lautan
gelombang pantai selatan membisu membuat garis pantai putih
burung camar segera bersuit dan berbarengan menghilang di lindap hutan
burung malam itu terbang mencari sarang setiap kelam
ZIARAH MAHRIB 2005
telah diselesaikan rakaat ketiga saat telpon berdering
tapi sia-sia dia mengucap salam ketika sebilah pisau berkeredep
menembus jantungnya yang terbuka
telpon terus mengisyaratkan panggilan sejalan dengan denyut nadi yang melemah
tangan pisau itu menyambar dan membantingnya: klik!
telah diseret mayat bersimbah darah
menuju liang lahat yang tersa di gali
ditusuk jantung mayat sekali lagi
seakan menusuk dada Jesus di tiang salip
ZIARAH MALAM 2005
diselesaikan lukisan senja yang telah terpotong
disimpan dalam kenangan perempuan di depan jendela
ditunggu jejak bintang lelaki meluncur di arah selatan
di persimpangan musim kemarau saat terjaga di ujung senapan
ditembakkan kea rah matahari lindap di cakrawala
matahari rebah di lautan dadanya berdarah
erangan lirih dibawa angin dikabarkan ke gunung
dan dicatat pepohonan
ungas-ungas berkotek memprotes pembunuhan terencana
mathari menutup hari dan malam menyelimutnya dengan kafan hitam
ZIARAH DINIHARI 2005
janji matahari terbit diufuk setegar kokok ayam jantan di dahan mempelam
angin masih sibuk bebenah diri di kamar kecil masjid sudut desa
beringsut-ingut membangunkan kedasih yang lupa sikat gigi
disruput udara pagi beraroma roti dalam kaleng biskuit rombeng
kopi pahit kental tanpa pemanis menguyur kelamin betina
membuncahkan fajar rajah di bunga-bunga yang lindap
jemarinya luka pisau disiram garam
merah semerah daging ikan salmon yang terbelah
kakinya luka tertembak peluru nyasar
ZIARAH IKLAN 2005
lampu yang berkelap-kelip muntahkan pesan yang menggigit
belilah aku dan nikmati aku
gerak yang lincah meloncat dan melenting melelehkan selera
reguklah hidup hisaplah kesempatan
desir yang tajam menggaung melingkari labirin membekukan nyali
minggir jika kau tak lagi punya dompet penuh nilai
ZIARAH HAIKU 2005
musim yang tersangkut di kawat listrik
menyimpan pesan hujan
terseret angin barat berantakan di kaki gunung
listrik kota mati di lahap petir
memporak-poranda pesan
ZIARAH HAIKU SALJU 2005
telah dipahatkan di dinding langit
biru kibasan mega putih
jatuh melengkung di perut bumi
kemudian melenting di genting kaca
menembus segala warna
memendar di layer televisi saat acara komersial
ZIARAH JEJAK 2005
sepasang jelaga merayap dinding kali
mengikuti aliran sungai menuju muara
sepasang debu menggeriyap di kaca
ZIARAH WAKTU 2005
menuliskan prasasti tentang cuaca
sepasang kabut saling berebut jalan di pintu mobil
kemudian menulis puisi embun tentang onderdil
ZIARAH HAIKU MUSIM 2005
bak cinta yang datang tiba-tiba
meninggalkan luka merah dadu
di jantung perawan yang menangis di bangku taman
bak tinta di botol terguncang
membentuk gelombang
berwarna kusam setinggi leher botol
ZIARAH HAIKU MATA-ANGIN 2005
pernahkah barat dan timur bertemu?
adakah sunyi di utara dan selatan?
batas barat timurlah membujur lintang
pernahkah utara dan selatan bertemu?
adakah ujung bumi?
batas suhu hangat suhu dingin terbaring
ZIARAH HAIKU PAGI HARI 2005
semangkuk bubur ayam
sepasang sumpit
menyusuri bibir hari tak pasti
kerupuk kulit renyah
tangan berminyak
menggapai hari pecah di pantai
membuncah cahaya berpendar di cakrawala
ZIARAH HAIKU MATAHARI SEPENGGALAH 2005
batu-batu gunung merenung
menusuki langit dengan jelaga
sepasang tangan munggil menyibak dedaunan dunia
dinding-dinding kota menghimpit
nafas-nafas memburu
ada jejak kaki kecil menuju stasiun kota
MEDITASI
telah disempurnakan nafas bumi pada lautan bergelombang
akan kekhusukan mata memusat pada jejak matahari
ada suara burung dan kesah angin di daunan
memburu angan melayang di cakrawala
MELINTASI ANGAN
kurasukkan sukmaku pada batu-batu dan gisik pasir danau
kubaringkan hasrat makan mati tidur pada altar langit terbuka
SELAMAT PAGI BOGOR 2005
digoyang rerumputan yang lelap
embun menempel di kaca mobil dan bebatuan
juga debu lesu di sudut kamar
deru mobil angkutan kota
gelepar sampah plastik dan bekas permen
serta jejak cacing melata di halaman
denyar nafas dapur mengantar waktu sarapan pagi
dengan puisi, koran pagi dan sepotong roti
diraba dada kota yang cekung
menyusuri liku jalanan berbatu
tak ada lagi nyala lelampuan karena senja
asap mengawan mewartakan kehidupan esok pagi
SELAMAT SIANG BOGOR 2005
sudah beribu langkah tahun kujejaki kota lusuh ini
stasiun tua dan pasar-pasar riuh
jalanan berlobang dan mall-mall berdadan lelampuan
sudah ratusan kali kusilangi kota sibuk ini
dalam naungan pohon-pohon purba
ketiplak kaki kuda sado
erangan penjaja asongan di lampu merah
sudah kesekian kali kutumpahkan hasrat kelaminku pada jalanan sibuk ini
memutus rantai budaya flamboyant masa laluku
senantiasa basah pada dataran kota tanpa bibir pantai
ZIARAH KEKASIH
sudah selesai kureka puisi bagi kota yang sibuk
pada bait-bait tanpa makna
senantiasa bunyi sumbang kekalahan atas nasib
niscaya lindap pada gigir waktu jeda
SELAMAT PAGI HUJAN 2005
kugaris di cakrawala dengan miring gerimis
basah jalanan basah lelampuan
basah rambutku basah celana-bajuku
kusilangi awan gemawan dengan ludah basi
begitu gelap di hari penghujan
di jalanan orang berdiri menunggu angkutan kota
berlindung di balik paying warna-warni
KUGARIS BASAH JALANAN
masih subuh tanpa cahya mentari
kuburu cakrawala denyar nafas kelamin terpangkas
perempuanku masuklah dalam dada bumi
bukit sayup dalam gerayangan alam telanjang
meregang dalam bisik resah pejalan malam
gerimispun diam dalam genggam
masih subuh perempuan itu mandi di kali
dicuci rambutnya
digosok giginya
dilulur kulitnya
diwangikan kelamin surganya
dan subuh menyusup perlahan hingga dasar gua melahirkan gagasan
KUGARIS BASAH LELAMPUAN
cahayanya suram miring di sudut jalan mati
tanpa pedagang asong tanpa pengamen lusuh
uang receh siap digenggaman terguling jatuh di selokan basah
gerimis menyisakan kabut di mata penjaja malam pulang
cahayanya makin redup ditimpa baying gerimis
yang makin membekukan cuaca pada titik nol
tangannya menggapai sulur lepas berjuntai
2005
KRL BOGOR – JAKARTA
hari libur pagi-pagi
kereta penuh sesak penumpang dan pedagang juga pengemis
menyeruak lagu pengamen elektronik maupun tanpa alat
juga kotak-kotak dari pesatren yang meminta perbaikan gedung
hari libur
pagi kereta listrik meluncur ke Jakarta
anak-anak usia sekolah merayapi dinding luar
memanjat di atap kereka berlarian dalam kecepatan kereta
hari libur tanpa hujan dan risik angin
ke Jakarta menguak tubuhku didekap mesin pencuci darah
hari libur selepas hujan malam
besi itu berkata pada embun
tentang penjaja cinta semalam masuk berita televisi
hari libur koran terbuka penuh gambar orang tertawa
mereka mereguk alcohol dengan botol terbuka
ruapnya ungu memenuhi cakrawala
hari libur pendar cahya magnetic layer komputer
wartakan gaduh di ruang tentang harga kelakian
masih hari libur
berbaring senyap
membayangkan perjalanan kereta sesak
penuh pedagang
penuh buruh
penuh pengemis
penuh pengamen
penuh penyair
penuh puisi
penuh air mata manusia melata
hari libur
kereta listrik kosong
menuruni rel dingin Jakarta
menyisakan cerita kemarin
ada yang diburu ada yang memburu
2005
MIRING GERIMIS DI CAKRAWALA
pagi baru bangkit di sarang malam
wajah kuyu perawan terperkosa kenikmatan
asap sisa keretek tertikam asbak menyeruak di angan
membungakan harapan terselip di bantal pembaringan hotel di sudut kota
diraba dada makin pudar dilumat malam
melangkah guyuh dalam kubangan menyiram letih kembara
(lelaki berapa jarak lagi kau buru betina malam-malammu?)
DENGAN GERIMIS
kunyatakan luka jiwa tertikam cinta
ada kepergian pagi ini bersama burung kedasih
sedang ribuan burung gagak menganga mengharap jazat
tubuh yang renta itu punah sudah di telah liang lahat basah
airmata isteri anak cucu dan tetangga
kunyatakan luka menganga terbelah pisau bedah
darahnya meleleh perlahan ke ujung mata pisau berkilat
kunyatakan perang pada kemunafikan atas cinta sesame
kutancapkan pisau itu di mata dunia yang makin rabun
GENGHIS KHAN
(buat Heri Latief juga Yono Wardito)
kukuburkan sejumlah puisi cinta
yang terbuhul dari perselingkuhan
hasil dari hubungan gelap yang bertahun-tahun
Odipus layaknya yang menikmati jalan hidup
menusuk kedua matanya setelah dua pasang manusia merangkaki usia
ratusan bahkan ribuan suku bangsa dilibas dihancur-lumatkan peradabannya
dengan tingkah barbar dan bengis
lampu yang berkelap-kelip muntahkan pesan yang menggigit
belilah aku dan nikmati aku
Odipus bukan Sangkuriang yang gagal memasuki goa kehidupan
tertelungkup kapal pesiar siap melaju dalam arungan cinta birahi
bukan pula Bandung Bondowoso yang sempat mengunyah potongan keliking ibunya
terpuruk di fajar semu yang mengusir segala jin untuk membangun seribu candi
yang keseribulah si perawan sunthi Loro Jongrang
tak mungkin dia Si Malin Kundang yang terpuruk membatu sebelum sauh terangkat
karna kianat pada bunda suci jalur kehidupan meluncurkan kembaranya
sepasang jelaga merayap dinding kali
mengikuti aliran sungai menuju muara
Odipus bukan Rendra yang menerima telegram ketika senja
yang mengirim pesan lewat SMS saat tubuh limbung di balai putih darah tercekat ditabung dicuci sampai tandas dan sinyal itu hanya gema
ketika SMS itu menjelang saat selsesai sholat subuh tepat kemikan dzikirnya pada hitungan ke tigaratus tigapuluh tiga menuju ke seribu sembilanratus sembilanpuluh sembilan
bata-batu gunung merenung
menusuki langit dengan jelaga
sepasang tangan munggil menyibak dedaunan dunia
Odipus yang tegar akan badai dan siap hunjam kejantanan memasuki goa menuju nirwana: Mari kita bersulang!
pernahkah barat dan timur bertemu?
adakah sunyi di utara dan selatan?
batas barat timurlah membujur lintang
Odipus yang tua dengan tongkat dan sejumlah keinginan
memanah rajawali yang tersilang angin utara
layaknya pendekar Sangaji memukulkan jurus sakti pengemis penggebuk anjing
perempuan perempuan wangi bunga berputar dalam angan
angin dingin utara menyibak gaun tipis penutup dada
membuka cakrawala Rahwana siap mencakar
Odipus memang bukan Rahwana yang serakah adigung adiguna
mencuri perempuan istri orang
membunuh kerabat kandung kerna menghalang rintang
melupakan pesan suci atas raksasa yang suci
rela mati untuk negri bukan utuk kekuasaan Rahwana
Juni 2003 – Maret 2005
TSUNAMI 2004
fajar baru saja mernyelinap di awan kelabu
menyekap lagu riang burung
meneteskan air mata di gubuk-gubuk nelayan
jejak jarum pengukur menuju sembilan
bukan angka keberuntungan
lebih dari petaka
SAJAK AWAL TAHUN 2005
menggoncang angan merontokkan mimpi
musim panas baru saja kita ukir
dengan liur cinta
mencoret dinding taman dengan gambar
jantung terpanah
remah-remah sarang burung
mengungsi ke selatan
saat pepohonan evergreen tersangkut musim dingin
salju merayapi dinding apartemen kusam
mata curiga tupai di liangnya
juga guratan jejak chipmunk
tetapi kemarau di sini makin tipis desah Sapardi
menguntai bunga turi dan randu alas
setia menanti
setia bermimpi
wahai imaji-imaji berloncatan
angan-angan awan gemawan
geriyap sesulur menjuntai di sudut
hutan karet tua menjelang gubuk tuamu
saat subuh luruh dedaunan penuh warna
2004 -2005
SETELAH TSUNAMI REDA
sepasang katak melompat
ke kolam tenang
fajar itu menyelinap dalam berita
pecah duka di Nusantara
meledak tangis luka sepanjang pantai Asia
di ujung hari meretas mimpi
di ujung jalan pulang panjang
airmata airmata tak lagi terperas
serak kerongkongan mengeja namaMu
mengeja kehendakMu
menatap sentuhan jemariMu
di pantai poranda
di tubir gunung bungkam membara
2005
SAJAK AKHIR TAHUN 2004
kami bersijingkat
meloncati waktu melintang
CERITA TSUNAMI BAGI SAPARDI
fajar menyimpan duka
fajar memburu cerita burung
musimpun berganti para pelacur di pingir jalan becek
musimpun memakai baju renda pipi bergincu merah tua
penyair menggoreskan mata pisau
mata pisau berkarat penuh racun
dukamu dukaku dukanya abadi
matamu mataku matanya aquarium
kapalmu kapalku kapalnya dipinjam Nuh Tua
sihirmu sihirku sihirnya Rendra mengaum menjerit luka
hujanmu hujanku hujannya rintik di tiris ditingkap gerimis Juni
apimu apiku apinya membakar bulan Mei dalam kembara
tunas-tunas bambu
pucuk-pucuk cemara
remasan jemari
kecupan bibir
desah lirihmu
lukisan cina terpampang di ruang tamu
kelopak bunga rontok
dedauan lubang dimangsa belalang
cintamu menyelinap tajam mata sembilu
surat-surat senja kauuntai riuh
cakap sunyi peronda dalam gerimis
surat-surat mimpi
surat-surat rayuan cinta
bangkit kala angin-angin menggebah petaka
lidah terjulur renggut nyawa tersungkur di kubur
fajar telah lama menghilang
tahun berkelebat
guguran salju
rayapan sesuluran
rintih kedasih di ujung desa
rumahmu masa depan menjuntai
dalam genggam bayi telajang terbuai gelombang
nyawa meregang menggenggam sorga
fajar kemarin
2004-2005
TSUNAMI ASIA
dalam hitungan detik
dalam kerdipan mata
dalam genggaman tanganMu
lebih dari 150000 ruh
kau panggil sekaligus
dalam kelam fajar
dalam temaram senja
dalam geram gelombang
kau porak porandakan impian
lebih dari 7000 kilometer
tanganMu meremas bumi
kakiMu menapakkan dukana
MUSIBAH 2004
petunjuk atas keperkasaanMu
masihkah tersisa desah
kau tinggalkan resah
kau patrikan gelisah
kegagahan
kepongahan
keserakahan
tersalip saat Natal meninggalkan jejak salju di bumi utara
lelaki itu menunjukkan luka di tangan
luka di lambung
bumi terbelah menyimpan janji manusia
aku tak lupa janji itu janji Tsunami janji tunduk
aku tak buta janji akan mimpi
aku tak tuli janji patuh janji pasrah
2004-2005
INDONESIA MENANGISLAH
Airmata siapa lagi yang berderak?
Airmata siapa lagi yang terserak?
Airmata yang terhempas pada badai
Airmata lelaki anak-anak perempuan manusia
Airmata ibu bumi alam
Airmata kita-kita
2004-2005
MENANGISLAH DEMOKRASI
dalam sidang malam itu
percakapan diganti pertengkaran
demokrasi menjadi sikat gigi
tanpa pasta menggosok senyuman Indonesia
JEJAK PAGI
tanah mana lagi yang kau jejaki?
lumpur merah dan tanah kelabu berlumut
memendam misteri bencana tsunami
(biarkan cerita itu terkubur dalam berita televisi!)
ada sepasang cangkir teh hangat
setoples kudapan
tangan guyuh menyambut angin malam
(geram musim di jendela mengibaskan berita tentang anak cucu)
sepasang capung masih asyik bermain di kolam
menuliskan puisi alam tentang masa depan
bayangannya bergetar ketika katak melompat
menciptakan gelombang melingkar
bibirmu berkemik tentang desis bencana
menyekapku dalam lamunan perjalanan akhir pekan
(burung-burung dalam formasi V menuju wilayah kehangatan)
kembali pintu itu membuka dan menutup
bak laba-laba menyergap serangga
terjaring di sarang yang pekat
pintu makin kelabu
ada bayang-bayang laba-laba mengintip
seakan jerat cintamu yang purba
2005
deRENDRA
tangannya menggenggam dunia
dalam mimpi tua di ujung hari
saat angsa berenang di lazuardi
meneteskan cinta nista penguasa
dalam opera sabun di pentas politik
Biodata
Nama: Cunong N. Suraja
Lahir: Yogyakarta, 9 Oktober 1951
Menulis thesis tentang PUISI DIGITAL untuk S2 di FIB-UI jurusan Susastra (2006)
Karya-karyanya tercetak pada buku terbitan YMS Jakarta
Mengajar di Universitas Pakuan dan Ibn Khaldun Bogor
Karya Tulis
Bulak Sumur – Malioboro. (Antologi Puisi Bersama). 1975. Yogyakarta: Dema UGM
Lirik-lirik Kemenangan. (Antologi Puisi Indonesia). 1994. Yogayakarta: Taman Budaya Propinsi DIY
Antologi Puisi Indonesia 1997. (Antologi Puisi Bersama). 1997. Bandung: Komunitas Sastra Indonesia dan Penerbit Angkasa Bandung
The American Poetry Annual. 1996. New York: The Amherst Society
The Lasting Joy, The national Library of Poetry. 1998. Owings Mills: The National Library of Poetry
The Chorus of the Soul, The International Library of Poetry. 2000. Owings Mills: The International Library of Poetry
Graffiti Gratitude. (Antologi Puisi Cyber). 2001. Bandung: Yayasan Multimedia Sastra dan Penerbit Angkasa Bandung
Pasar Kembang, Yogyakarta dalam sajak. (Antologi Puisi Bersama). 2001. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia Yogyakarta
Graffiti Imaji. (Kumpulan Cerpen Pendek). 2002. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra dan Penerbit Damar Warga
Les Cyberlettres (Antologi Puisi Cyberpunk). 2005. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra
Mekar di Bumi. (Visiografi Eka Budianta). 2006. Jakarta: Pustaka Alvabet
Jogja 5,9 Skala Richter (Antologi Seratus Puisi). 2006. Yogyakarta: Penerbit Bentang
Rabu, 12 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar